
Oleh: Dr. Drs. Muhadam Labolo, M.Si. @ Dr.Joko Susilo Raharjo Watimena, S.PdI,MM.
Pasca terbentuknya lembaga anti rasuah (KPK), IPDN diminta mengembangkan kurikulum sejalan dengan kebijakan pemerintah, pemberantasan korupsi. Di rencana pembelajaran semester terbentuklah mata kuliah etika pemerintahan, pencegahan korupsi, serta sistem pengawasan dan pengendalian.
Etika pemerintahan sejak lama dipelajari. Mata kuliah lain bersifat terapan. Di level kajian sains, Prof. Talizi mengembangkan koruptologi. Beberapa salah kaprah, dipikir ilmu koruptor. Padahal sama dengan kriminologi. Ilmu tentang bagaimana memahami seluk beluk kejahatan, motif, perilaku hingga terbentuk kejahatan (criminal). Bukan ilmu bandit.
Koruptologi juga demikian. Ilmu soal bagaimana kita dapat memahami sebab-sebab terjadinya korupsi, gejalanya, pemicunya, faktor penyertanya, serta dampak tzunami yang diakibatkan olehnya. Dengan begitu kita dapat mengantisipasi, mengatasi, mengendalikan, bahkan memberantasnya secara sistemik, masif dan terencana.
Gejala korupsi seperti sapu dan sampah. Setiap kali dibersihkan, sampah menumpuk kembali. Terakhir Bupati Pemalang tertangkap tangan oleh KPK. Beliau kepala daerah ke 446 pasca pemilukada langsung diterapkan (Djohan,2022). Bila aparat kehilangan akal mencegahnya, publik justru kehilangan harapan atas mimpi pemerintahan bersih. Kadang sampahnya diangkut, tapi sekali waktu sapunya pun perlu dibersihkan (Ali, 2005).
Semua paham bahwa sebab korupsi karena sistem, budaya dan karakter individual (Widjayanto, 2015). Mekanisme sistem selalu dipersoalkan mulai praktek sirkulasi kepemimpinan yang mahal di ongkos hingga distribusi calon yang sarat nepotisme. Kesulitan mengubah sistem karena bola kuasa ada di tangan para pemain yang sejauh ini nyaman lewat formula langsung dan dinastik.
Korupsi tak dapat disangkal juga produk budaya yang diturunkan secara evolutif. Kesulitan terberat kita adalah mengubah perspektif korupsi sebagai cara efektif memecahkan keruwetan birokrasi. Bagi elit, korupsi adalah minyak pelumas dalam upaya melumuri prosedur agar tercipta kelenturan. Sementara bagi kaum alit, korupsi adalah butiran pasir yang mengganjal putaran mesin hingga perlu di tiup sekuat-kuatnya (Priyono, 2018).
Rendahnya budaya malu (shame culture), serta kegagalan membumikan religi sebagai akuntabilitas manusia pada Tuhan (guilt culture), menjadikan korupsi dilakukan senyap dan berjama’ah sekalipun jelas-jelas dinyatakan sebagai kejahatan extraordinary. Disini, perang terhadap korupsi seperti berhadapan dengan mafioso dalam ruang birokrasi. Rapi sekalipun bau.
Pada akar terakhir, korupsi adalah produk alami individu yang terbentuk sejak kanak-kanak. Bakat itu melahirkan keserakahan yang tak kunjung usai hingga maut menjemput. Kerumitan terbesar kita mengatasi cleptomania ketika seseorang berada dalam sistem dan budaya linier dengan praktek korupsi. Dalam situasi semacam itulah terbentuk kleptokrasi, upaya memperkaya diri dan kelompok lewat berbagai cara, termasuk jual beli jabatan.