Jumat, Februari 14, 2025
- Advertisement -spot_img
BerandaBeritaOpiniKomitmen Membangun Daerah

Komitmen Membangun Daerah

spot_img

Oleh: Dr. Petrus Polyando, M.Si.

Isu mengenai pembangunan daerah dan dampak-dampaknya semakin intens dibicarakan publik dari berbagai kalangan. Hal ini sebagai implikasi demokrasi dan juga perubahan sosial lainnya seiring dengan ragam faktor yang mempengaruhinya baik internal maupun eksternal. faktor eksternal seperti halnya globalisasi di mana tren global memberikan dorongan semangat pengalaman, pengetahuan dan sikap publik lokal terhadap kondisinya. Sementara faktor internal berkaitan dengan tingkat kesadaran masyarakat terhadap hak dan kewajiban mereka yang harus dipenuhi pemerintah. Ini juga seiring dengan semakin meningkatnya daya kritis masyarakat lokal akibat pendidikan dan juga dialektika pengalaman mereka.  Realita ini merupakan sebuah keniscayaan, sehingga diskusi politik pemerintahan telah beralih fokus pada lokalitas. Kalau dulu membicarakan politik pemerintahan selalu melekat dengan kalangan elit nasional dengan diskursus nasional dan internasional, sekarang justru terbuka luas bahkan lebih ramai publik lokal terpanggil untuk membicarakannya mengenai isu regional dan lokal. Politik pemerintahan di tingkat lokal semakin menarik sehingga ilmuan politik pemerintahan saat ini berlomba mencari jawaban atas fenomena lokal dimaksud. Bahkan berbagai artikel jurnal ilmiah bereputasi nasional maupun internasional lebih tertarik mempublikasikan manuskrip yang mengambil topik lokalitas.

Diskursus mengenai lokalitas dan dinamika pembangunan daerah, telah menghadirkan banyak tema meskipun yang paling sexy adalah seputar suksesi kepemimpinan lokal dan sirkulasi elit lokal. Ini dimaklumi mengingat ada hubungannya dengan kue kekuasaan yang diperebutkan dengan orientasi pragmatis untuk memenuhi kepentingan syawat politik maupun nilai ekonomis segelintir orang yang mengatasnamakan masyarakat. Di luar tema tersebut sesungguhnya ada tema lainnya yang lebih substansial berhubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan bersentuhan dengan ancaman peradaban suatu generasi seperti halnya kemiskinan, kelaparan, kesehatan, pendidikan, perubahan iklim, air, sanitasi, energi, lingkungan dan keadilan sosial. Isu-isu ini sesungguhnya menjadi perhatian global yang disepakati 193 negara PBB dan masyarakat sipil global sebagaimana tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Ini menjadi komitmen global dan nasional dalam upaya untuk menyejahterakan masyarakat.

Pertanyaan kritisnya adalah terhadap isu substansial tersebut di mana posisi pemerintah daerah? apa yang telah dibuat? Dan sejauhmana capaian pembangunan yang telah diperoleh? Untuk menjawabnya bisa didekatkan dengan berbagai perspektif, namun sebagai ilmuwan pemerintahan tentu mengarahkan pada bagaimana tata kelola fungsi pemerintahan yang terimplementasi dari berbagai dimensi manajemen pemerintahan mampu menyentuh kebutuhan dasar masyarakat secara efektif, efisen dan produktif. Kalau merujuk pada pada gagasan Margaret Levi (2006) bahwa pemerintahan yang efektif adalah pemerintahan yang tidak hanya melindungi warganya dari kekerasan tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi, menyediakan barang-barang publik yang dibutuhkan dan diinginkan penduduk, mengembangkan mekanisme pertanggungjawaban rakyat, dan memastikan kesetaraan politik dan ekonomi. Hal ini sejalan dengan tujuan dari pelaksanaan fungsi pemerintahan sebagai derivasi dari tujuan berbangsa dan bernegara adalah pemenuhan hak-hak dasar masyarakat untuk hidup secara mandiri, adil, teratur, sejahtera, nyaman dan berkelanjutan. Jadi, sederhana saja melihat peran, keberhasilan dan fokus suatu pemerintahan daerah terletak pada (1) deskrispi pengaturan yang dilakukan apakah memenuhi esensi kepatuhan dan keteraturan perilaku hidup masyarakatnya, (2) gambaran pelayanan yang esesnsinya adalah apakah telah memenuhi keadilan masyarakat, (3) apakah pemberdayaan yang ada telah membuat masyarakat mandiri, (4) apakah pembangunan daerah yang dilaksanakan telah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan tentu (5) apakah pemerintah sebagai organ negara di tingkat lokal telah memastikan kenyamanan  warganya melalui jaminan perlindungan terhadap masyarakat lokal secara menyuluruh.

Fakta menunjukan pemenuhan hajat hidup orang banyak di berbagai daerah masih jauh dari harapan sebagai sebuah eufemisme menghindari penggunaan istilah “memprihatinkan”. Hal ini bisa dilihat dari data beberapa media online termasuk artikel tulisan-tulisan pemerhati sosial lainnya. CNN misalnya tanggal 23 Maret kemarin seolah melengkapi pemberitaan kunjungan presiden Jokowi ke NTT –TTS, mengangkat isu angka stunting tertinggi di Indonesia terjadi di Kabupaten TTS. Sehari sebelumnya sebuah artikel yang bertema Indonesia dan Kemiskinan Ekstrem Oleh Astrid Ayu Bestari dalam media online kompas, meng-highlight perlambatan pengentasan kemiskinan terutama menampilkan data angka kemiskinan ekstrem yang tidak pernah turun dari tiga Provinsi yaitu Papua dengan jumlah penduduk miskin ekstrem terbesar di Indonesia, yaitu 14,15 persen, di susul Papua Barat (13,87 persen) dan NTT (10,63 persen). Data yang ada seolah menegaskan entitas pemerintahan lokal belum mampu berbuat banyak terhadap kondisi sosial masyarakatnya. Kalau menganalis berdasarkan tujuan dan rentang waktu praktik reformasi penyelenggaraan pemerintahan timbul pertanyaan apa saja yang pemerintah daerah fokuskan dengan kewenangan yang besar yang didukung sumber daya yang begitu masif terutama anggaran yang cukup melimpah ruah dari berbagai sumber. Ini berarti ada yang tidak tepat dalam mengelola daerah.

Dalam kacamata manajemen pemerintahan daerah, faktor kepemimpinan menjadi kunci sukses keberhasilan daerah. Hal ini memang dibuktikan dari beberapa daerah yang dulunya biasa saja, dapat sukses mengubah daerahnya yang tandus gersang menjadi maju dan sejahtera masyarakatnya. Dan kalau ditelusuri ternyata keberanian pemimpin lokalnya yang menerobos kondisi yang ada dengan kebijakan yang out of the box dengan fokus pada pencapaian kesejahteraan masyarakatnya. Ada yang mengambil jalan tidak populer  dikalangan birokrat bahkan menabrak norma, kebiasaan dan aturan sekalipun hanya untuk menjalankan amanah menggunakan uang rakyat bermanfaat bagi masyarakat. Kita bisa rinci beberapa contoh misalnya awal refomasi Bupati Jembrana (2000-2010) Prof. DR. Drg. I Gede Winasa dengan inovasinya yang mengagumkan, kemudian Prof. Nurdin Abdullah di Bantaeng, dan beberapa kepala daerah lainnya yang telah membuat daerahnya dikenal luas di Indonesia maupun mancanegara. Meskipun ada yang berakhir di penjara tapi secara hasil pembangunan masyarakat merasakan perubahan kemajuan luar biasa. Mereka tergolong berhasil dan menjadikan daerahnya sebagai contoh sukses. Sekilas cerita Prof. Winasa di rumah tahanan ketika saya mewawancarainya beliau sangat detail menghitung berapa anggaran yang dibutuhkan untuk mensejahterakan masyarakatnya, apa yang harus dilakukan, apa yang dapat dicapai dalam periodisasi tertentu dan bagaimana mengantisipasi daerah kedepannya dalam jangka panjang untuk generasi masa depan. Ini sebenarnya nilai kepemimpinan yang sering dibicarakan kalangan ilmuwan pemerintahan di kelas teori yang kemudian dipraktikan oleh prof. Wanasa dan pemimpin lokal lainnya yang sukses mengubah daerahnya.

Mengenai NTT dan TTS yang cukup memprihatinkan terutama kasus kemiskinan ekstrem dan stunting yang mengundang perhatian serius pemerintah pusat dan pemerhati sosial lainnya, jelas menggugat praktik pemerintahan yang dikelola oleh pemimpin lokalnya. Asumsinya bisa macam-macam, namun dalam kerangka ilmu pemerintahan bisa disorot dari tidak berjalannya fungsi setiap dimensi manajemen pemerintahan, kemudian tidak sinkron antar dimensi manajemen pemerintahan, sehingga tidak jelas arah pembangunan. Dan ini berarti pemimpin daerah tidak memiliki ide besar kebaruan membangun daerah, sehingga yang diurus hanya sekedar rutinitas melihat perilaku birokrasi ( misal : daftar hadir, seragam, uang jalan, dll) dan internal administrasi lainnya untuk dirinya sendiri. Padahal Rasyid (1996) telah mengingatkan pemerintah dihadirkan bukan untuk melayani dirinya sendiri. Dalam teori kompensasi, pemimpin yang mengurusi dirinya sendiri jelas sebagai konsekuensi logis dari kosongnya isi pengetahuan pemerintahan dalam kepalanya, sikap mental, nyali keberanian, dan keterpanggilan nurani yang rendah dalam hatinya, serta ketrampilan mengelola pemerintahan yang belum mahir.

Angka stunting yang tinggi jelas bukan peristiwa dadakan tapi persoalan menahun jangka panjang dari sebuah lingkaran kemiskinan. Kalau ditelaah, hal ini ada hubungannya dengan peran pemerintah daerah dari periode ke periode. Apa kebijakan mereka selama ini dalam janji politik yang sering digunakan untuk meraih dukungan menduduki jabatan kepala daerah? Ada gap yang cukup jauh, elit lokal setelah menduduki jabatan berpisah jalur dengan masyarakat, mengelola rutinitasnya untuk memenuhi kebutuhan diri dan kelomponya. Sementara masyarakat berkembang mencari titik tujunya sendiri melanjutkan perjuangan hidupnya bersama alam yang ada. Inilah yang dipertanyakan mengenai mana komitmen membangun daerah, mana hakikat pemerintahan bagi kebahagiaan manusia lahir dan bathin sebagaimana digagas van poeltje (1953). Jelas kondisi ini tidak sejalan dan justru mengkhawatirkan kembali akan kondisi kacau balau yang bertentangan dengan gagasan Clinton Roosevelt (1841) mengenai pemerintahan yang semestinya. Dan ini tentu merupakan kemunduran bagi kita semua, bagi ilmuwan pemerintahan, bagi praktisi maupun kelompok masyarakat madani.

spot_img
POPULER
BACA JUGA
spot_img