Oleh: Dr. Ednawan Prihana, M.Si Dosen Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Langlangbuana Bandung, Pemerhati Ilmu Pemerintahan, Founder Brainy Indonesia & REI Edu Consultant
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak telah terselenggara pada tanggal 27 November 2024, Pilkada serentak ini mencakup pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota dan dilaksanakan pada hari yang sama di seluruh Indonesia. Pilkada Serentak 2024 ini merupakan momen penting dalam demokrasi Indonesia, di mana rakyat secara langsung memilih pemimpin daerah mereka, tetapi tidak cukup hanya dengan adanya pilkada serentak untuk membuktikan bahwa suatu bangsa demokratis. Demokrasi yang sejati memerlukan pilkada serentak yang bebas, adil, dan kompetitif, didukung oleh institusi yang kuat dan budaya politik yang demokratis. Tanpa unsur-unsur ini, pilkada serentak bisa menjadi sekadar formalitas tanpa substansi demokratis yang sejati. Pilkada memungkinkan warga negara untuk memilih pemimpin dan wakil mereka yang merupakan inti dari prinsip kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi, kekuasaan berasal dari rakyat, dan pemilu adalah cara utama untuk mengekspresikan kehendak rakyat tersebut.
Dasar hukum Pilkada Serentak 2024 mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14 Tahun 2013. Pilkada serentak 2024 menjadi sebuah tonggak penting dalam upaya memperkuat sistem presidensial di Indonesia. Kata serentak dalam konteks ini merujuk pada pelaksanaan pemilu yang diselenggarakan bersamaan, Data menunjukkan Pemilih Potensial Pilkada Serentak 2024 mencapai 207,11 Juta Jiwa, jumlah penduduk potensial yang akan mengikuti Pilkada Serentak 2024 lebih besar dibandingkan pemilih Pemilu 2024. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menyerahkan data jumlah pemilih potensial ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2 Mei 2024 yang menunjukkan bahwa jumlah pemilih potensial mencapai 207.110.768 jiwa. Detailnya, pemilih laki-laki mencapai 103.228.748 jiwa dan pemilih wanita 103.882.020 jiwa. Seluruh pemilih itu perlu memperoleh jaminan untuk bisa menggunakan hak pilih dalam pilkada serentak. Angka pemilih potensial 207 juta jiwa ini lebih besar dibandingkan pemilih Pemilu 2024 pada Februari 2024 sebesar 204 juta jiwa. Tulisan ini mencoba menelaah apa yang menjadi ekspektasi dari penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 dan realita yang terjadi pada penyelenggraan Pilkada Serentak 2024
Ekspektasi Pilkada Serentak 2024
Diawal, dengan adanya keserentakan pilkada, kita memiliki ekspektasi dari Pilkada Serentak 2024 antara lain (1) Peningkatan Partisipasi Politik, Pilkada serentak dapat meningkatkan kesadaran politik masyarakat karena mereka lebih fokus pada satu momentum besar pemilihan, yang pada gilirannya bisa mendorong tingkat partisipasi pemilih yang lebih tinggi (2) Efisiensi biaya, dengan menggabungkan pemilihan di berbagai daerah dalam satu waktu, biaya operasional seperti logistik, pengamanan, dan administrasi bisa lebih hemat. Anggaran yang diperlukan untuk pelaksanaan Pilkada juga dapat dioptimalkan (3) Penguatan Stabilitas Politik, dengan mengadakan Pilkada secara serentak, transisi kepemimpinan di berbagai daerah dapat berlangsung secara bersamaan, yang bisa mengurangi potensi ketidakstabilan politik yang berkepanjangan akibat proses pemilihan yang terpecah-pecah waktunya (4) Konsistensi Kebijakan Nasional, pilkada serentak memungkinkan pemerintahan pusat dan daerah untuk lebih mudah menyelaraskan kebijakan, terutama dalam perencanaan pembangunan yang terkoordinasi antara pusat dan daerah; (5) Pengawasan yang Lebih Efektif, pemilihan serentak memudahkan lembaga pengawas seperti Bawaslu untuk mengawasi proses pemilihan di seluruh daerah secara lebih terstruktur dan terkoordinasi, yang diharapkan dapat meminimalisasi kecurangan.
Realita Pilkada Serentak 2024
Pada kenyataannya, keserentakan Pilkada 2024 ini menyisakan sekelumit masalah antara lain (1) Partisipasi pemilih mengalami penurunan signifikan, Secara nasional rata-rata partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 mencapai 68 persen. Meski angka tersebut dianggap cukup baik oleh KPU RI, tetap terjadi penurunan jika dibandingkan dengan Pemilu 2024 yang mencatatkan partisipasi 81,78 persen pada Pilpres dan sekitar 81 persen untuk pemilu legislatif. Partisipasi pemilih di DKI Jakarta menjadi salah satu yang terendah di Indonesia. Angka partisipasi pada Pilkada Jakarta 2024 tercatat hanya mencapai 58 persen, jauh di bawah capaian Pilkada 2017 yang mencapai 78 persen. Rendahnya partisipasi pemilih tidak hanya terjadi di Jakarta namun terjadi juga di Depok yang hanya 60 persen. (2) Anggaran Pilkada Serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp 41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024. Angka ini bersumber dari besar anggaran yang telah disepakati pemerintah daerah (pemda) dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) Pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat. Presiden Prabowo sendiri mengakui Pilkada Serentak memakan anggaran negara yang sangat besar, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur (3) Isu lokal yang seharusnya menjadi pembeda antara satu kandidat dengan kandidat lainnya menjadi tidak muncul. Akibatnya, harapan para pemilih yang menginginkan para kandidat bertarung dengan gagasan membangun lokalitas menjadi tidak terwujud karena pilkada serentak. Efek dari keserentakan ini adalah dinamika lokal yang relatif tidak terlihat atau seakan tidak ada (4) Tata Kelola Pilkada belum sesuai harapan, karena masih banyak temuan seperti TPS dekat dengan posko kemenangan, Beberapa TPS tidak memasang DPT dan Calon, dugaan politik uang ditemukan di pulau Jawa dan Sumatra. Sejumlah pelanggaran ini mestinya dapat diantisipasi jika Bawaslu di TPS mampu berfungsi secara optimal. Tidak hanya memastikan kesiapan logistik tetapi juga mampu menindak tegas pelanggaran yang dilakukan penyelenggara terkait administrasi maupun unsur netralitas di lokasi TPS. (5) Timbulnya banyak sengketa Pilkada, Mahkamah Konsitusi (MK) telah menerima 240 pendaftaran gugatan hasil Pilkada serentak 2024 hingga pukul 00.05 WIB, Rabu (11/12) Ratusan gugatan itu terdiri dari dua permohonan sengketa pemilihan gubernur, 194 permohonan sengketa pemilihan bupati, dan 44 sengketa pemilihan wali kota. (6) Banyaknya fenomena calon tunggal, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat terdapat 38 daerah yang terbagi menjadi 37 kabupaten/kota dan satu provinsi yang hanya memiliki calon tunggal dan melawan kotak kosong. Banyaknya calon Tunggal ini disinyalir sebagai bentuk kegagalan partai politik dalam melakukan fungsi mendasarnya untuk mencalonkan kadernya sendiri dalam Pilkada. partai politik belum siap sehingga mereka juga tidak mampu menghasilkan alternatif bagi masyarakat. Apalagi proses seleksi calon kepala daerah itu tidak melibatkan masyarakat sehingga partai politik seolah enggan membuat terobosan dan membuka ruang-ruang bagi partisipasi publik dalam proses nominasinya ini.
Penutup
Secara keseluruhan, Keserentakan pilkada merupakan langkah progresif dalam evolusi demokrasi Indonesia yang berpotensi memperkuat tata kelola pemerintahan dan partisipasi masyarakat. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kesiapan dan kemampuan semua pemangku kepentingan dalam mengelola proses tersebut dengan efektif, transparan, dan adil.
Keserentakan pilkada 2024 yang memiliki harapan antara lain meningkatkan partisipasi politik dan pemilih, anggaran biaya nya bisa efisien, menguatkan stabilitas politik, konsistensi kebijakan pusat dan daerah serta pengawasan bisa lebih terstruktur dan terkoordinasi. Namun realitanya keserentakan pilkada 2024 masih memyisakan sekelumit permasalahan yang timbul seperti partisipasi pemilih turun signifikan, memakan anggaran negara yang besar, isu lokal yang tidak muncul, tata kelola yang belum sesuai harapan, timbulnya banyak sengketa pilkada dan banyaknya fenomena calon tunggal. Sudah barang tentu masukan-masukan dari berbagai elemen menjadi bahan evaluasi bagi penyelenggaraan pemilu maupun pilkada untuk masa-masa berikutnya. Kajian akademis, telaah dan evaluasi kiranya diperlukan untuk memperbaiki penyelenggaraan dengan mendesain ulang keserentakan pilkada.