Oleh : Arlis Prayugo (Dosen STIPAN Jakarta & Mahasiswa S3 Ilmu Politik UI)
“Dekade Keserakahan” karya Joseph Stiglitz merupakan analisis mendalam tentang dinamika ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat dan global dalam dekade terakhir, dengan fokus pada kesenjangan yang semakin melebar antara kaya dan miskin. Stiglitz, seorang ekonom peraih Nobel, menyajikan argumen yang kuat tentang bagaimana kebijakan ekonomi yang didominasi oleh kepentingan elit memperburuk ketidakadilan sosial dan ekonomi. Buku ini mengeksplorasi bagaimana ketidaksetaraan tersebut berdampak pada kestabilan sosial dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan.
Dalam buku ini, Stiglitz berfokus pada kebijakan pemerintah dan sektor finansial yang menurutnya menjadi biang keladi utama dari ketidakadilan tersebut. Ia mengkritik keras keputusan-keputusan ekonomi yang memprioritaskan keuntungan jangka pendek dan kepentingan korporasi besar di atas kesejahteraan rakyat. Menurutnya, kebijakan ini memperlebar jurang antara kaum kaya yang semakin kaya dan kaum miskin yang semakin tertinggal, menciptakan ketimpangan yang semakin dalam di masyarakat.
Stiglitz juga menyoroti peran pasar yang semakin bebas namun tidak terkontrol dengan baik, serta deregulasi yang dilakukan oleh pemerintah selama dekade tersebut. Ia berpendapat bahwa pasar bebas yang terlalu liberal tanpa intervensi yang tepat dari pemerintah justru membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat, terutama bagi masyarakat kelas menengah dan bawah. Fenomena ini dapat dilihat dari krisis finansial yang berulang kali melanda, termasuk krisis Asia tahun 1998 yang menjadi salah satu fokus analisis dalam buku ini. Stiglitz menyalahkan IMF karena memberikan nasihat kebijakan yang buruk, seperti menaikkan suku bunga dan memangkas pengeluaran pemerintah selama krisis. Ia berpendapat bahwa pendekatan tersebut memperdalam resesi dan mencegah pemulihan yang cepat. Krisis ini dipicu oleh arus modal masuk yang besar, diikuti oleh pelarian modal secara tiba-tiba, yang menyebabkan kehancuran mata uang dan sistem keuangan di negara-negara Asia.
Dalam buku “Dekade Keserakahan” juga mengupas bagaimana korupsi dan kekuatan lobi politik mempengaruhi pengambilan kebijakan publik. Stiglitz berargumen bahwa banyak kebijakan ekonomi yang dibuat justru lebih menguntungkan segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, sehingga menciptakan sistem yang tidak adil. Ia juga mengkritik peran bank-bank besar yang terlibat dalam spekulasi dan manipulasi pasar, yang pada akhirnya merugikan ekonomi secara global.
Melalui buku ini, Stiglitz tidak hanya menguraikan masalah-masalah yang muncul akibat keserakahan dalam sistem ekonomi modern, tetapi juga memberikan solusi dan rekomendasi kebijakan yang lebih adil dan inklusif. Ia mendorong adanya regulasi yang lebih ketat, redistribusi kekayaan, dan kebijakan yang lebih pro-rakyat guna memastikan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan berkelanjutan di masa depan.
Menurut Stiglitz, bank sentral memiliki kekuasaan besar dalam menentukan kebijakan moneter yang berdampak luas pada stabilitas ekonomi global. Salah satu peran utamanya adalah mengendalikan inflasi dan suku bunga, yang memengaruhi aliran kredit, investasi, dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Namun, Stiglitz berpendapat bahwa kebijakan moneter sering kali lebih menguntungkan sektor keuangan daripada perekonomian riil, yang akhirnya menciptakan ketimpangan.
Stiglitz menyoroti bagaimana kebijakan suku bunga rendah yang diterapkan bank sentral dapat memicu spekulasi dan gelembung aset di pasar keuangan. Ketika suku bunga ditekan terlalu rendah dalam waktu yang lama, hal ini mendorong investor untuk mencari imbal hasil yang lebih tinggi di pasar aset berisiko, seperti saham dan properti. Kondisi ini dapat memperburuk ketidakstabilan finansial, sebagaimana terlihat dalam krisis keuangan global 2008. Bank sentral, dalam pandangannya, memiliki peran besar dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan krisis tersebut terjadi melalui kebijakan moneter yang terlalu longgar.
Lebih lanjut, Stiglitz juga mengkritik independensi bank sentral yang sering kali beroperasi tanpa pengawasan yang memadai dari pihak pemerintah atau lembaga legislatif. Ia berpendapat bahwa keputusan kebijakan moneter harus lebih transparan dan akuntabel terhadap publik, mengingat dampaknya yang luas. Menurutnya, bank sentral sering kali terlalu fokus pada kestabilan harga tanpa mempertimbangkan dampak kebijakan mereka terhadap lapangan kerja dan distribusi pendapatan, yang sangat memengaruhi kehidupan masyarakat biasa.
Selain itu, Stiglitz menyoroti bahwa bank sentral sering kali lebih peduli pada sektor perbankan daripada masyarakat umum. Dalam beberapa kasus, bank sentral memilih untuk menyelamatkan bank-bank besar yang bermasalah selama krisis keuangan, sementara masyarakat kelas pekerja yang terkena dampak paling besar dari krisis tersebut tidak mendapatkan bantuan yang sepadan. Pandangan ini menunjukkan ketimpangan dalam cara bank sentral menangani krisis, di mana tindakan mereka lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang mendukung stabilitas sosial ekonomi secara menyeluruh. Dalam beberapa tulisannya, Stiglitz mengutarakan pandangan tegas tentang “bankir nakal” yang merujuk pada para pelaku dalam industri keuangan yang terlibat dalam praktik-praktik yang merugikan perekonomian. Beberapa pandangan penting Joseph Stiglitz terkait bankir nakal antara lain:
- Pengambilan Risiko Berlebihan: Stiglitz sering mengkritik bankir karena mendorong perilaku pengambilan risiko yang berlebihan, terutama menjelang krisis keuangan global 2008. Menurutnya, insentif yang salah (seperti bonus besar) mendorong bankir untuk mengambil risiko tinggi tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi stabilitas ekonomi.
- Kurangnya Akuntabilitas: Stiglitz menyoroti bahwa banyak bankir yang bertindak tanpa rasa tanggung jawab, terutama karena sistem keuangan global yang tidak memiliki pengawasan ketat. Mereka terlibat dalam praktik-praktik spekulatif, tetapi ketika krisis terjadi, justru masyarakat yang terkena dampaknya.
- Moral Hazard: Stiglitz menyoroti fenomena “moral hazard”, di mana bankir dan institusi keuangan merasa terlindungi dari kegagalan karena adanya bailout dari pemerintah. Hal ini mendorong mereka untuk mengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab karena mereka yakin bahwa pemerintah akan menyelamatkan mereka jika terjadi krisis.
- Ketimpangan Sosial: Stiglitz juga percaya bahwa perilaku bankir yang “nakal” berkontribusi pada ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Dia berpendapat bahwa kebijakan moneter dan keuangan sering kali lebih menguntungkan sektor keuangan daripada ekonomi riil, yang pada akhirnya merugikan masyarakat umum.
- Reformasi Sistem Keuangan: Dalam berbagai kesempatan, Stiglitz menyerukan adanya reformasi yang lebih menyeluruh terhadap sistem perbankan dan keuangan global untuk mencegah “bankir nakal” mengulangi kesalahan yang sama. Dia percaya bahwa pengawasan yang lebih ketat, transparansi yang lebih baik, dan akuntabilitas yang jelas sangat penting untuk menciptakan sistem keuangan yang lebih stabil dan adil.
Secara keseluruhan, Stiglitz menyoroti pentingnya regulasi yang kuat untuk membatasi perilaku tidak bertanggung jawab dari bankir dan memastikan bahwa sistem keuangan bekerja untuk kepentingan masyarakat luas, bukan hanya untuk keuntungan segelintir orang di sektor keuangan. Kesimpulannya, Joseph Stiglitz memberikan kritik tajam terhadap peran banker dan bank sentral dalam ekonomi dunia, terutama dalam hal fokus kebijakan yang sering kali mengabaikan dampak sosial dan distribusi pendapatan. Ia menekankan perlunya reformasi dalam sistem keuangan global, di mana bank sentral harus lebih transparan, akuntabel, dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat secara lebih merata, bukan hanya sektor keuangan yang kuat.