
Oleh: Dr. Petrus Polyando, S.STP., M.Si. *10/12/2022
Budaya lokal dan pembangunan hingga saat ini masih dianggap sebagai dua konsep yang tidak selalu sejalan, atau dikerjakan dalam konteks yang sama. Sebagian besar kalangan masih berpegang teguh pada beberapa bukti klasik yang menunjukan keduanya saling meniadakan atau saling menghambat satu sama lainnya. Argumentasinya bahwa budaya lokal selalu mempertahankan “status quo” anti perubahan dan mewariskan nilai-nilai luhur yang dianut masyarakat dari generasi ke generasi tanpa kompromi dalam debat rasional. Dengan menyertakan berbagai syarat ketentuan dan sanksi, masyarakat dalam komunitas lokal membangun peradabannya melalui warisan kebiasaan yang telah disepakati masa lampau. Mereka menata relasi sosial dalam interaksi individu sesama manusia, antar kelompok maupun interaksi mereka dengan makluk lainnya atau dengan lingkungan alamnya. Atas keyakinan mereka yang begitu kuat terhadap nilai yang disepakati sehingga dianggap sebagai kebenaran mutlak yang harus dipertahankan tanpa tawar. Hal ini kemudian memiliki unsur paksaan bersifat dogmatis yang wajib dipatuhi pengikutnya atau keturunannya. Sementara itu, pembangunan melekat dengan modernisasi, selalu berubah dari waktu ke waktu. Pembangunan disebut sebagai “dynamic change of a whole society from one state of national being to another, with the connotation that the latter state is preferable” (Katz, Saul M,1965). Sederhananya bahwa pembangunan sebagai perubahan yang bersifat dinamis, berlangsung dalam seluruh masyarakat, terjadi secara bertahap, dari suatu keadaan yang baru dimana keadaan baru inilah yang paling diharapkan dari keadaan sebelumnya.
Sekilas tampak kontradiktif kedua konsep yang disajikan, di mana budaya lokal mempertahankan kondisi statis zona keterberiannya sedangkan pembangunan menyukai perubahan. Para penganut keduanya tentu memiliki basis pertimbangan sehingga masing-masing mempertahankan pilihannya. Salah satu yang menguatkan pentingnya perubahan melalui pembangunan bagi pendukungnya adalah hipotesis mengenai kebudayaan sebagai penyebab kemiskinan. Ini berangkat dari gagasan sosiolog Jerman, Max Weber (1864-1920), bahwa norma-norma sosial yang berkaitan dengan kebudayaan memiliki peran penting dan sulit diubah, dan terkadang menjadi penyebab perbedaan pada berbagai institusi kemasyarakatan yang menimbulkan masalah kesenjangan ekonomi. Jadi, keduanya sangat berlawanan dan saling meniadakan satu sama lainnya dengan pilihannya bahwa mempertahankan nilai budaya lokal berarti mengikuti doktrin yang ada, sedangkan mengambil insiatif maju dengan perubahan kondisi melalui pembangunan berarti harus meninggalkan tradisi yang ada, keluar dari pakem-pakem yang menghambat.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang telah mengubah pola pikir dan kesadaran manusia, kondisi tersebut diterima sebagai hal yang kurang produktif bagi peradaban manusia. Bahkan hipotesis kebudayaan sebagai penyebab kemiskinan pun mulai diragukan sebagaimana salah satunya oleh Daron Acemoglu & James A. Robinson (2012) dalam karya monumentalnya Why Nations Fail. Beberapa pihak kemudian melakukan kajian secara mendalam untuk membuktikan sekaligus menghadirkan solusi yang tepat. Kalangan masyarakat sipil, organisasi budaya dan LSM, telah menelusuri jauh peran budaya dalam proses pembangunan, baik pada tingkat teoretis maupun dalam penerapan praktisnya melalui kegiatan dan proyek pembangunan. Dengan data dan pengalaman empirikal, kemudian muncul evolusi gagasan baru bahwa kedua konsep ini dapat disandingkan dalam suatu komunitas masyarakat. Maider Maraña (2010) mengembangkan gagasan ini mulai dari pemahaman budaya atas pembangunan itu sendiri, kemudian mengklarifikasi hal yang dipahami oleh budaya dalam kerja sama pembangunan, untuk menghasilkan alat yang mendukung penerapan teori dan pengarusutamaan budaya dalam praktik pembangunan. Demikian halnya UNESCO (1966) dan Amartya Sen (1990) menunjukkan bahwa pembangunan tidak bisa dihindari dari pertimbangan budaya. Bahwa konsep pembangunan telah melampaui batas pertumbuhan ekonomi belaka namun mencakup berbagai isu termasuk budaya sebagai elemen penting dalam pembangunan suatu komunitas. Ini menunjukan faktor budaya dan ekonomi saling melengkapi, bahwa gagasan menyandingkan budaya dan pembangunan memiliki prospek bagi masa depan peradaban suatu komunitas yang lebih baik.
Konsep Nilai Budaya Lokal Dan Pembangunan
Sejatinya budaya maupun pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang luas, mencakup berbagai bidang kehidupan dari masa lalu, masa kini hingga masa depan. Terdapat interpretasi yang beragam sehingga perlu dikemukakan beberapa pengertian kunci yang dapat memberikan informasi terfokus.
Budaya oleh Koentjaraningrat (1992) sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa,dan rasa itu. Wujudnya dalam bentuk ide-ide, gagasan, nilai- nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam suatu masyarakat; serta benda-benda hasil karya manusia. Liliweri (2002) melengkapi dengan proses yang diterima tanpa sadar yang semuanya diwariskan melalui komunikasi antar generasi. Jauh sebelum itu antropolog Tylor (1920) menyatakan keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh. Hal ini kemudian oleh UNESCO mendeklarasikan sebagai kumpulan berbagai fungsi seperti spiritual, material, intelektual, dan emosional yang khas dari masyarakat atau kelompok sosial yang mencakup, seni dan sastra, gaya hidup, cara hidup bersama, sistem nilai, tradisi dan kepercayaan. Jadi budaya dapat dipahami secara luas dan sempit, dimana secara luas, budaya adalah sistem makna, konstruksi sosial, artikulasi, dan penerimaannya, termasuk agama, ideologi, sistem nilai, dan identitas kolektif. Secara sempit mengacu pada seni yaitu, hal yang diciptakan seniman dan hal yang dilestarikan, dipertukarkan, dan dikonsumsi sebagai artefak budaya.
Dalam pandangan modern budaya dimaknai sebagai totalitas praktik, institusi, dan mekanisme terintegrasi secara longgar yang menangani produksi, distribusi, konsumsi, dan pelestarian makna bersama secara kolektif, serta aturan eksplisit dan implisit yang mengatur proses yang relevan (Hannes Palang, 2015). Konsep ini menyiratkan bahwa pemahaman budaya sangat fleksibel seiring dengan penggunaannya oleh beberapa disiplin intelektual dan sistem pemikiran yang berbeda. Budaya juga dapat dipahami dengan bahasa sehari hari oleh masyarakat yang digunakan dalam banyak cara dan konteks yang berbeda. Ini menunjukan bahwa makna budaya telah berubah sepanjang waktu, dari gagasan awal sebagai tindakan dalam dunia nyata dan interaksinya dengan alam, menjadi budaya sebagai penanaman pikiran dan perilaku manusia.
Sementara itu, berkenaan dengan pembangunan, banyak gagasan dikemukakan para ahli dari berbagai perspektif namun biasanya lebih kepada pelibatan proses perubahan dan evolusi yang disengaja maupun tidak disengaja menuju situasi baru yang lebih baik dalam hal sosial, budaya, dan lingkungan. Ini menegaskan bahwa pembangunan erat kaitannya dengan pencapaian maupun proses, menempuh berbagai arah, dan berpotensi maju dan mundur dan terus berkelanjutan. Beberapa nilai umum yang sering diletakan dalam pembangunan adalah demokrasi, kesehatan, ketahanan pangan dan air, kesetaraan kesempatan dan akses ke sumber daya, keadilan sosial, kemakmuran ekonomi.
Dari konsep di atas dapat dipahami bahwa ada korelasi keduanya dimana budaya itu berkenaan dengan cipta, rasa dan karsa, ide, perilaku dan benda hasil karya, produksi, distribusi dan konsumsi. Sedangkan pembangunan terkait proses perubahan dan pencapaian hasil secara evolusi disengaja atau tidak disengaja. Artinya perubahan akibat pembangunan sebenarnya terkait perubahan cipta, rasa dan karsa manusia tersebut. Jadi, secara konseptual keduanya seiring sejalan terkait upaya melestarikan peradaban suatu komunitas mencapai hidup lebih baik.
Dampak Budaya Lokal Bagi Pembangunan Daerah
Dampak budaya terhadap pembangunan lokal telah banyak disorot para ilmuwan maupun praktisi dari berbagai latarbelakang. Seringkali menjadi isu strategis lokal dan agenda pokok penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah. Para pihak sepakat bahwa budaya memiliki peran besar dalam pembangunan sehingga penting diperhatikan. Namun demikian, masih terjadi pembelahan sikap atas dampak budaya lokal bagi pembangunan daerah. Di satu sisi ada yang dengan gamblang menyatakan budaya memiliki dampak negatif bagi pembangunan, di sisi lain ada yang mengambil posisi positif kehadiran budaya bagi pembangunan. Sikap para pihak ini tentu dipengaruhi oleh pengetahuan, cara pandang mereka serta tujuan dan manfaat yang diperoleh. Smith (1759) menyatakan bahwa dampak besar nilai budaya membuat perbedaan nyata antara pilihan yang rasional secara ekonomi dan pilihan moral (sikap budaya).
Dalam konteks penilaian dampak negatif budaya, Max Weber (1930) memberikan argumentasinya bahwa gagasan sikap budaya pada produktivitas dan kewirausahaan lokal, kadang-kadang ditafsirkan secara sempit hanya sebagai nilai-nilai agama. Akibatnya peran budaya diabaikan sehingga menimbulkan kontraproduktif pada kelompok lokal yang memegang teguh nilai budayanya. Pada posisi ini budaya tidak dikelola sebagai sumber daya yang potensial sehingga dipisahkan perannya yang dalam praktiknya justru menghabiskan banyak energi masyarakat. Pada bagian lain, ada yang berusaha mengemukakan gagasan positif dengan mengakui bahwa keanekaragaman budaya lokal justru sebagai sumber produktivitas lokal. Ini sebagaimana terefleksi dari pemahaman Jacobs (1961). Untuk itu sepatutnya budaya lokal dikelola sebagai faktor potensial pendukung pembangunan. Pandangan ini sejalan dengan Bourdieu (1973) yang mengajukan gagasan modal budaya sebagai sumber reproduksi sosial, mobilitas kelas sosial dan kemakmuran ekonomi individu. Dalam proposisi Marx (1859) yang lebih tegas menyatakan bahwa budaya adalah produk yang benar-benar endogen dari pembangunan ekonomi lokal.
Di atas pendekatan konseptual mengenai dampak budaya terhadap pembangunan, beberapa praktik empiris menunjukan bahwa masyarakat dalam komunitas lokal sudah terfragmentasi secara struktur budaya sehingga mengambil posisi yang bervariasi dalam pembangunan. Pada masyarakat pedesaan yang serba homogen, nilai lokal masih dominan sehingga sulit untuk berubah menerima pembangunan. Mereka terbiasa dengan kondisi alaminya, dan mewarisi kebiasaan interaksi yang dipraktikan dengan pola-pola hidup tradisional. Tawaran pembangunan yang memiliki prospek menguntungkan sekalipun disikapi dengan apatis bahkan penolakan. Sedangkan pada masyarakat perkotaan yang heterogen, sangat terbuka menerima perubahan dan cenderung ingin memodernisasi sendi kehidupannya dengan pembangunan. Mereka dengan mudah mengikuti tren serta pengaruh luar komunitasnya, bahkan pada aras tertentu mereka memiliki interpretasi yang baru sehingga perlahan meninggalkan nilai-nilai lama. Pada kelompok ini sudah sangat pragmatis menganggap budaya lokal yang berpotensi menghambat pembangunan patut di abaikan. Namun dibalik fragmentasi kedua pihak, masih terdapat sebagian pihak moderat berusaha mengambil jalan tengah untuk mengemas budaya sebagai suplemen bagi pembangunan. Ini terkait dengan upaya memodifikasi dan mengembangkan nilai budaya yang konstruktif bagi komunitas lokal. Mereka berusaha mendapatkan hubungan timbal balik saling memanfaatkan bagi pelestarian budaya maupun keuntungan ekonomi.
Di sini terlihat budaya memiliki pengaruh besar terhadap pembangunan, sehingga berdampak terhadap komunitas lokal. Secara konseptual maupun empirikal menunjukan bahwa kehadiran budayalah menjadi alasan pertimbangan penting dalam rencana pembangunan suatu wilayah, bahkan diletakan sebagai faktor determinan bagi kemajuan suatu daerah. Budaya lokal dapat menghambat pembangunan dan dapat pula memberikan nilai guna bagi pembangunan. Hal ini tergantung sikap para pihak yang berkepentingan.
Mengingat pentingnya peran budaya tersebut muncul gagasan baru mengenai pembangunan berbasis budaya dalam beberapa dekade terakhir (Tubadji 2012). Konsep ini bertujuan menggabungkan nilai tambah dari berbagai kontribusi budaya dalam pembangunan suatu komunitas. Saat ini nilai budaya diterima sebagai kearifan lokal yang berkontribusi bagi pembangunan seiring animo publik yang berkembang sehingga sering digunakan sebagai mitra kolaborasi dalam pembangunan. Menyadari hal ini, Soini & Birkeland (2014) mengemukakan gagasannya bahwa budaya mampu diintegrasikan dalam pembangunan berkelanjutan dalam tiga cara yang saling terkait. Pertama, budaya dalam pembangunan berkelanjutan; kedua, budaya untuk pembangunan berkelanjutan; ketiga budaya sebagai pembangunan berkelanjutan. Ketiga cara dimaksud berkaitan dengan peran budaya yang mendukung dan memperluas wacana pembangunan berkelanjutan secara konvensional; menggerakkan budaya ke dalam kerangka, kontekstualisasi, dan mediasi pembangunan, yang dapat menyeimbangkan ketiga pilar ekonomi, sosial, dan ekologis; dan mengakui bahwa budaya adalah akar dari semua keputusan dan tindakan manusia dan perhatian menyeluruh dalam pemikiran pembangunan berkelanjutan. Jadi budaya dan pembangunan saling berhubungan, sehingga telah menghilangkan perbedaan antara dimensi keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan.
Nilai Budaya Lokal Yang Sering di Soal
Diskursus publik terhadap nilai budaya dan pembangunan daerah meski telah diletakan keduanya kontinum atau komplementer namun dalam praktik umum masih berlaku upaya mempertahankan unsur budaya tertentu sehingga harus menggangu proses pembangunan. Perlu diketahui ada sejumlah unsur budaya yang berkembang secara universal berlaku bagi semua bangsa di dunia antara lain (1) ekonomi budaya, (2)historis (warisan), (3)tradisi), (4)perilaku manusia, (5) normatif (nilai, norma), (6)mental (gagasan), dan (7)struktural (simbol). Ini sebagaimana terefleksi dari gagasan Kroeber & Kluckhohn (1952) yang kemudian oleh Koentjaraningrat (1992) mempertegasnya menjadi sistem bahasa, agama, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, sistem pengetahuan teknologi, ekonomi, dan keseniannya. Di antara unsur-unsur budaya ini sebagian masih sangat kaku dipraktikan, sangat kokoh dipertahankan, bahkan digunakan sebagai alasan melindungi diri (komunitas) sehingga atas kepentingan pelestarian dan perlindungan hak, seringkali berbenturan dengan pembangunan. Salah satu yang paling dominan mendapatkan proteksi yang kuat adalah mengenai sistem kekerabatan dan organisasi sosial. Ini memang terkait dengan upaya manusia membentuk masyarakat melalui berbagai kelompok sosial. Dalam kelompok sosial inilah disepakati adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan hidup serta interaksi antara individu dan kelompok dari mulai perkawinan sampai pada kematian.
Perkawinan dalam unsur budaya sistem kekerabatan dan organisasi sosial, telah menjadi sub unsur yang paling disorot dan mendapatkan fokus perhatian publik. Bahkan ukuran berbudaya atau tidaknya suatu kaum dilihat dari perilaku mereka menjalankan ritual ada istiadat dalam proses perkawinan ini. Meskipun sebenarnya unsur lainnya pun penting menjadi identitas suatu komunitas lokal namun pada umumnya sub unsur perkawinanlah yang selalu dijalankan dengan proses utuh melalui upaya maksimal. Pada kondisi ini kemudian menjadi konsumsi publik untuk menilai, memberikan apresiasi atau sebaliknya memberikan kritik terhadap praktik yang dijalankan.
Umumnya dinamika pembicaraan publik terkait sub unsur budaya perkawinan di era modern ini mengenai totalitas menjalankan prosedural yang diwariskan. Bahkan karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan modernisasi global, seringkali perdebatan bergeser pada nilai ekonomis dari proses tersebut. Ada yang menyoal pemberlakukan ritual adat perkawinan yang wajib dilakukan meski membebani keluarga keduabelah pihak, sehingga berujung pada beban ekonomi keluarga pada kehidupan selanjutnya. Ada juga yang menyoroti pemberlakuan ritual adat yang bervariasi sehingga menimbulkan dampak psikologis masyarakat yang kontraproduktif. Tentu masih banyak perdebatan lainnya termasuk tukar menukar barang atau saling memberi dan menerima dalam ritual dimaksud.
Banyak kalangan mendiskusikan soal kepentingan harga diri, gengsi sehingga terkadang mengutamakan emosional dan meninggalkan akal sehat untuk berpikir rasional. Hal ini terjadi pada semua lapisan masyarakat baik di desa maupun di perkotaan, menyasar semua yang berpendidikan atau tidak, yang kaya maupun miskin. Sebab itu sebagian pihak berusaha membawa persoalan ini dalam gugatan terhadap nilai adat yang dipraktikan melalui bentuk kesepakatan baru. Mereka berusaha menerapkan sebagian dengan segala risiko yang diterima dari lingkungan sosialnya. Tentu dengan perlawanan seperti ini membawa dampak yang kurang produktif dan mengancam kelestarian budaya lokal.
Dibalik itu persoalan lainnya adalah pertentangan antara nilai-nilai tradisional dengan sekuler. Harus dipahami masyarakat Indonesia sejatinya tunduk pada ajaran agama yang dianutnya namun juga mereka terikat dengan nilai budaya warisan leluhurnya. Pada ajaran agama tertentu, warisan budaya dianggap bertentangan sehingga menjalankan agama harus meninggalkan budaya. Hal ini kemudian menimbulkan polemik di masyarakat dalam upaya menjalankan nilai budaya lokal yang utuh. Polemik ini yang kemudian berdampak pada keharmonisan interaksi sosial dalam masyarakat.
Praktik Yang Terjadi di Kabupaten Sikka
Sebagaimana halnya dengan daerah lainnya di Indonesia, Kabupaten Sikka pun memiliki nilai budaya lokal yang unik. Masyarakat mempraktikan warisan leluhur dalam kehidupan sosial mereka dari generasi ke generasi. Berbagai interaksi mereka antar sesama maupun dengan lingkungan alamnya selalu mengikuti ritual yang diturunkan. Kehidupan mereka dari lahir sampai mati telah diatur dalam adat-istiadat yang berlaku dan wajib dijalankan sebagai nilai moral tanpa tawar. Semua unsur budaya sebagaimana diterangkan oleh Kroeber & Kluckhohn (1952) dan Koentjaraningrat (1992) dipraktikan secara menyeluruh. Ini berlaku bagi semua orang yang secara genealogi berasal dari daerah ini dimanapun berada.
Namun demikian, praktik sebagian unsur saat ini telah bergeser dari yang semestinya. Fakta menunjukan hanya sebagian komunitas pedesaan yang masih mempraktikan secara utuh semua unsur budaya yang ada. Sementara itu sebagian komunitas perkotaan sudah mulai pudar beberapa unsur budaya sehingga kurang dijalankan secara total dalam kehidupan mereka. Ini bisa diuraikan secara singkat masing-masing unsur yang dipraktikan sebagai berikut.
Pertama, Sistem Bahasa; Sejatinya ada beberapa bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat di kabupaten Sikka seperti halnya Sara Sikka Krowe, Sara Sikka Muhan atau Sikka Krowe Muhan, Sara Muhan, Sara Lu’a Kapa Raja (bahasa Palu’e), Sara Lio Krowe dipakai oleh subetnis Mbengu, Bu, Mego dan Nuo Lolo dan Sara Tindung Bajo Lau. Masing-masing digunakan oleh penuturnya untuk komunikasi dalam kebutuhan interaksi dengan sesamanya. Bahasa yang paling banyak digunakan (penuturnya) adalah Sara Sikka Krowe dimana hampir semua wilayah menggunakannya dalam komunikasi umum di daerah tersebut. Semua bahasa memiliki tingkatannya yang digunakan untuk komunikasi secara halus (sopan) dengan makna adat yang tinggi dan komunikasi keseharian. Namun dalam praktiknya penggunaan bahasa asli sudah berbaur dengan bahasa lainnya atau non-Sikka. Bahkan sebagian bahasa asli sudah hilang dari masyarakat, dan ini sudah menyasar sampai di desa apalagi generasi milenial maupun generasi Z saat ini. Dalam ritual acara adat tertentu pun penutur adat yang fasih semakin berkurang sehingga seringkali ada pencampuran dengan bahasa nasional. Ungkapan syair dan pantun sara Sikka pun jarang didengar akibat kurangnya penutur fasih dimaksud. Inilah praktik penggunaan bahasa di kabupaten Sikka.
Kedua, Sistem Religi; Praktik religi ini berkaitan dengan emosi keagamaan, dalam hal ini perasaan diri manusia yang mendorongnya melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religius. Ini juga menyangkut sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan umat yang menganut religi. Saat ini kepercayaan menyembah pada suatu kekuatan gaib di luar diri manusia, berupa gunung, batu, kayu, angin, hutan, dan laut masih dipraktikan oleh sebagian kecil masyarakat pedesaan, namun umumnya mereka sudah beragama sehingga praktik menyembah kekuatan di luar dirinya dilakukan berdasarkan ajaran agama yang dianut (Katolik, Protestan, Islam, Hindu, dan Buddha). Sebagian masyarakat Sikka meski beragama namun masih menjalankan ritual tradisional leluhurnya secara mandiri atau kelompok kecil.
Ketiga, Sistem Kekerabatan Dan Organisasi Sosial; Ini terkait adat istiadat dan aturan-aturan mengenai relasi individu dan kelompok dalam hal perkawinan, membentuk keluarga sampai pada ritual kematian. Umumnya masyaraat Sikka sangat taat dengan jenis perkawinan monogami sebagaimana mengikuti tradisi leluhur maupun tradisi gereja. Dalam proses perkawinan ini banyak ritual adat yang harus dilaksanakan yang sangat mengorbankan waktu, tenaga, moril maupun material lainnya. Tuntutan untuk memenuhi acara adat ini begitu tinggi bahkan sebagai harga mutlak yang sulit ditawar, sehingga seringkali memaksakan kedua belah pihak untuk melakukannya meski dalam kondisi tak berdaya. Sebagian masyarakat masih sangat keras dengan tradisi belis yang kemudian menimbulkan masalah kesulitan ekonomi keluarga. Fakta menunjukan pasangan baru yang hidup berumah tangga harus memulai bathera mereka dari kondisi utang atau kondisi tidak memiliki apa-apa karena sumber daya telah dihabiskan oleh keluarga besar dalam proses belis yang sifatnya barter materi. Perilaku barter ini bahkan sudah diterima sebagai budaya yang menyasar pada peristiwa sosial lainnya seperti acara kelahiran anak, acara permandian, acara komuni pertama, bahkan sampai pada acara kedukaan sekalipun. Praktik ironis ini meskipun telah banyak disadari oleh sebagian kalangan rasional sangat merugikan, kurang produktif bagi masyarakat namun demikian belum banyak mengubah kondisi. Dengan memegang teguh gengsi pribadi, khawatir terhadap omongan orang, dan juga sanksi sosial lainnya, mereka memaksakan diri untuk mengadakan ritual adat yang secara ekonomis sangat konsumtif. Model interaksi sosial seperti ini sebenarnya telah menjadi perbincangan di beberapa kalangan namun belum pada aksi nyata untuk merasionalisasi kondisi tersebut. Sebagian besar masyarakat masih berusaha mempertahankannya dengan argumentasi klasik yang tidak diterima secara logis, bahkan ada yang masih nyaman dengan zona keterberian saat ini.
Keempat, Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi; Dalam hal unsur ini, masyarakat di Kabupaten Sikka sebenarnya sudah berkembang ke arah modern. Seperti halnya penggunaan peralatan produksi, wadah, alat menyalakan api, makanan dan minuman tradisional, pakaian dan tempat perhiasan, Perumahan, Alat-Alat Transportasi. Umumnya sudah meninggalkan praktik tradisional, meski sebagian kecil masyarakat pedesaan masih mengembangkan peralatan wadah dari tanah liat yang merupakan warisan leluhurnya. Sedangkan yang lainnya secara umum tampak sudah memperbaharui diri dengan peralatan modern.
Kelima, Sistem Ekonomi/Mata Pencaharian Hidup; Praktik unsur budaya ini secara umum mencakup: a.berburu dan meramu; b.beternak; c.bercocok tanam di ladang; d.menangkap ikan; e.bercocok tanam menetap dengan sistem irigasi. Untuk masyarakat Sikka, kegiatan berburu dan meramu sudah ditinggalkan, bahkan sebagian besar sudah beralih kepada mata pencaharian lainnya mengikuti dinamika kehidupan modern. Sektor pertanian hanya bisa ditemukan di daerah pedesaan yang relatif belum terpengaruh oleh arus modernisasi, namun itupun ada yang sudah variatif dengan mata pencaharian lainnya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dapat dikatakan secara umum masyarakat sudah memiliki pola pikir modern yang kemudian mempengaruhi mereka tidak fokus pada satu pencaharian tradisional.
Keenam, Kesenian; Kesenian tradisional Sikka yang dipraktikan saat ini berupa seni tari, seni musik, dan seni rupa. Seni musik berupa gong waning biasanya digunakan pada saat acara besar yang disajikan bersamaan dengan seni tari. Sementara itu seni rupa umumnya ditemukan dalam wujud kain tenun yang didesain dengan corak lokal khas Sikka. Namun demikian, praktik kesenian tradisional ini jarang dilakukan di beberapa wilayah seiring dengan masuknya seni modern baik musik maupun tari. Umumnya kesenian tradisonal hanya diminati oleh segmen tertentu, sangat familiar pada orangtua di kampung sementara itu pada kalangan milenial maupun generasi Z perkotaan kurang familiar.
Ketujuh, Sistem Pengetahuan; Hal ini menyangkut kemampuan masyarakat dalam membaca tanda-tanda alam untuk menunjang aktivitas hidup mereka. Pada masyarakat Sikka, sebagian kalangan tua masih memegang teguh warisan leluhur mengenai tanda alam dan peristiwa apa yang akan terjadi. Sehingga mereka dapat mengantisipasi atau mengambil langkah tertentu. Pengetahuan tentang alam ini kemudian memberikan bekal bagi mereka dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Namun demikian saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada, nilai budaya ini sudah terkikis sehingga banyak yang meninggalkan pengetahuan tradisional tersebut.
Konsep Pembangunan Berbasis Budaya Sebagai Gagasan Solusional
Memperhatikan berbagai praktik unsur budaya yang disajikan di atas, tampak jelas ada masalah yang cukup kritis yang membutuhkan perhatian para pemangku kepentingan di daerah. Masalah dimaksud menyangkut ancaman terhadap keberlanjutan unsur budaya tertentu dan terhambatnya pembangunan untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Untuk mengatasi kedua masalah tersebut maka gagasan pembangunan berbasis budaya menjadi alternatif solusional. Tentu ini harus dimulai dengan tata kelola nilai adat yang melibatkan seluruh stakeholder di Kabupaten Sikka. Dalam hal ini unsur penyelenggara pemerintahan daerah (pemerintah daerah dan DPRD), para tokoh adat, tokoh masyarakat, LSM Lokal, gereja, akademisi, media massa lokal, dan kelompok lainnya mengambil posisi yang sama untuk memformulasi ulang nilai adat yang tidak membebani masyarakat namun tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat serta harga diri orang Sikka. Tentu nilai budaya yang konstruktif bagi masyarakat dalam pembangunan lokal.
Secara konkritnya, para pihak dimaksud perlu duduk bersama difasilitasi oleh pemerintah daerah untuk merumuskan kesepakatan baru tentang penyelenggaraan unsur budaya dan adat istiadat yang konstruktif dan berkelanjutan. Kesepakatan ini dimulai dengan mengidentifikasi berbagai praktik budaya dari unsur-unsur yang ada, kemudian mengumpulkan berbagai informasi masalah melalui forum diskusi terfokus, yang selanjutnya juga disertai kajian oleh akademisi untuk memformulasikan dalam bentuk rancangan peraturan daerah sebagai pedoman penerapan adat, dan akhirnya dibahas dan disepakati oleh pemerintah daerah dan DPRD. Penting ditetapkan dalam peraturan daerah agar implementasinya sesuai dengan kesepakatan, ada kejelasan hak dan kewajiban para pihak yang berkepentingan, ada keterbukaan makna nilai adat yang dipraktikan, ada batasan rasional nilai adat, ada kejelasan tanggungjawab pengembangan melalui peran para pihak yang berkepentingan. Di samping itu dapat memberikan edukasi kepada generasi berikutnya mengenai nilai adat sehingga dapat dilestarikan, dikembangkan dengan antusias dan memberikan manfaat bagi masyarakat lokal.
Gagasan ini sebagai jalan tengah yang menghubungkan para pihak yang pro dan kontra terhadap budaya dan pembangunan. Melalui kolaborasi yang melibatkan banyak pihak tentu akan memudahkan proses dan menghasilkan karya yang bermanfaat, bernilai guna bagi kelestarian budaya dan berdampak positif bagi pembangunan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sikka. Untuk itu, pemerintah daerah sebagai aktor dominan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah perlu mengambil inisiatif menetapkan langkah-langkah kegiatan dan mekanisme kerja terukur. Dengan sumber daya yang ada diyakini dapat tercapai target yang ditetapkan.
Dalam perspektif ilmu pemerintahan, persoalan ini sesungguhnya merupakan fenomena sosial pemerintahan yang berhubungan dengan permasalahan fungsi pembangunan dimana esensi pembangunan yang semestinya menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat Sikka justru terhambat oleh faktor budaya lokal. Padahal budaya lokal sepatutnya juga menjadi bagian penting yang memberikan nilai kemanfaatan sosial bagi penganutnya. Dengan permasalahan seperti ini pemerintah harus hadir menyelaraskan agar masyarakat hidup berdampingan secara baik dengan norma adat dan agamanya, dan dapat mencapai kesejahteraan dan kebahagian lahiriah dan batiniah. Ini sebagaimana terefleksi dari pandangan Clinton Roosevelt (1841) dan van Poltje (1953) mengenai konsep ilmu pemerintahan.
Jadi, gerak langkah pembangunan di daerah semestinya tidak terkendala oleh nilai budaya lokal yang berkembang. Bahkan sepatutnya kehadiran budaya lokal mendukung pembangunan daerah dalam suatu sinergitas yang saling menguntungkan. Bahwa pembangunan yang dilakukan harus mampu melestarikan budaya lokal yang ada. Intinya nilai budaya lokal harus menjadi sarana produktif bagi pembangunan sehingga tidak menjadi beban yang akan ditinggalkan, dihindari sehingga menjadi punah. Nilai budaya lokal harus terpelihara mengingat perannya sebagai petunjuk bagi sebuah peradaban dan sebagai penghubung dari generasi ke generasi sehingga penerapan nilai budaya lokal dalam kehidupan sepatutnya menyesuaikan dengan kepentingan awal disepakati serta kebutuhan masa kini dan yang akan datang.
Semoga beban masyarakat Sikka mengenai adat selama ini menjadi ringan seiring dengan tata kelola nilai budaya yang lebih konstruktif secara komprehensif mendukung pembangunan daerah.