
Oleh: Petrus Polyando, 17/08/2022
Tanpa terasa perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara merdeka sudah memasuki 77 tahun. Ini berarti 23 tahun lagi atau 276 Bulan kita mencapai satu abad usia sebagai negara merdeka atau kalau tidak ada aral melintang dengan sistem pemilihan umum maupun pemilihan presiden yang ada maka tinggal 5 (lima) kali lagi siklus sirkulasi elit kita menuju hari H perayaan Indonesia Emas. Posisi kita saat ini andaikata diletakan dalam suasana gerak matahari dari terbit sampai terbenamnya maka kita sebenarnya berada pada sore hari menuju malam hari. Saat akan memasuki kehidupan baru yang beralih dari suasana terik di siang hari kepada suasana penuh kesejukan ditemani keindahan dari sang rembulan di malam hari. Kalau mengibaratkannya dengan menggunakan garis lintang dan bujur dari arah timur ke barat pada peta bumi maka saat ini lebih mendekati titik ujung barat. Pada suasana lain jika menempatkan pada putaran arah jarum jam atau sebuah lingkaran maka sebenarnya posisi saat ini berada diantara angka 9 dan 10, atau telah melewati ¾ putaran. Bila dikondisikan dalam suatu kuadran bidang datar maka sejatinya berada di kuadran empat. Berbagai kalkulasi posisi keIndonesiaan kita dengan ragam parameter ini mau menunjukan bahwa saat yang ditunggu, atau saat yang dinanti itu sudah dekat. Jika mendeskripsikan penantian hari-hari tersebut dengan nyanyian maka lagu yang tepat patut dikumandangkan saat ini adalah lagunya Krisdayanti dengan judul menghitung hari ciptaan Melly Goeslaw (1999).
Sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat penuh, dalam usia cukup lama masih tetap berdiri kokoh adalah merupakan sebuah prestasi yang membanggakan. Ini sebagai perjuangan yang tidak mudah mengingat banyak tantangan, banyak cobaan baik dari dalam maupun dari luar yang berusaha meruntuhkannya. Tantangan dari dalam misalnya tuntutan untuk memisahkan diri melalui gerakan separatis, kemudian munculnya kelompok-kelompok tertentu yang menawarkan ideologi lain untuk menggantikan dasar negara saat ini sehingga mengganggu kenyamanan berbangsa yang berpotensi memecah belah keutuhan negara. Tantangan dari luar pun cukup banyak seperti sengketa batas, upaya menganeksasi wilayah tertentu di daerah-daerah perbatasan, keinginan menguasai sumber daya alam melalui politik adu domba, menjerat dengan utang serta juga memonopoli perdagangan dan ekonomi melalui sistem yang tidak adil, dll. Kesemuanya terjadi sejak awal kemerdekaan sampai saat ini dan sangat menguras energi anak bangsa untuk melewatinya, sehingga bertahan dengan kondisi sekarang adalah merupakan ikhtiar yang patut di syukuri.
Tantangan dan cobaan silih berganti, namun sebenarnya Indonesia telah menorehkan kemajuan di berbagai sektor bahkan telah menempatkan posisinya diperhitungkan di kancah global. Dari waktu ke waktu pembangunan terus digulirkan dan sebagian hasilnya telah mengubah wajah Indonesia. Saat ini perlahan pasti Indonesia terus berjalan, bergerak maju dengan percaya diri meninggalkan sebagian negara lainnya sekaligus mematahkan tesis kaum pesimis dan skeptis yang melihat negara ini dengan sinis.
Ramalan dan Prediksi
Sejatinya banyak ramalan dan prediksi tentang Indonesia kedepannya, ada yang ragu Indonesia akan tetap ada namun ada juga yang yakin Indonesia berjaya. Yang ragu, meramalkan suatu saat kita akan bercerita kepada anak cucu kita bahwa kita pernah punya suatu negara yang namanya Indonesia. Barangkali ramalan ini berangkat dari tesisnya John Naisbitt dalam Global Paradox (1994) yang menyoal dampak demokratisasi di berbagai belahan dunia. Secara eksplisit ditegaskan semakin besar demokrasi, semakin banyak negara, semakin kecil bagian dari ekonomi global. Bahwa berkembangnya demokrasi justru menimbulkan pecahnya negara menjadi unit-unit kecil. Secara kalkulatif bumi ini diprediksi akan dihuni oleh 1000 negara baru kedepannya. Ini berarti Indonesia punya potensi menyumbang hadirnya negara baru sebagaimana ramalan tersebut, mengingat posisinya sebagai salah negara berdemokrasi. Banyak pihak sepakat ramalan ini ketika mengaitkan dengan situasi dan kondisi internal bangsa yang selalu berkutat dengan isu sensitif dan ketegangan sosial.
Di sisi lain, kondisi Indonesia saat ini telah membuat takjub sebagian kalangan sehingga memunculkan ramalan dan prediksi yang berbeda. Kembali beredar luas cerita ramalan masa lalu oleh Prabu Jayabaya yang menyebut bahwa akan datang zaman baru, zaman yang penuh kemegahan dan kemuliaan, yakni zaman keemasan Nusantara. Konon zaman baru itu akan datang seiring datangnya sang Ratu Adil atau Satria Piningit. Tidak jelas menyebut kapan waktunya namun sebagian orang mulai mendekat-dekatkan ramalan tersebut dengan ilmu cocokologi bahwa saat kejayaan Indonesia menggapai Gemah Ripah Loh Jinawi telah dekat. Bahkan ada yang menggunakan kalkulasi siklus kejayaan 7 (tujuh) abad Indonesia sehingga dengan yakin menyatakan abad 21 adalah abadnya Indonesia. Bahwa Indonesia pernah berjaya pada abad ke-7 (tujuh) pada masa Sriwijaya, kemudian abad ke-14 pada masa Majapahit. Kalkulasi siklus ini memang bisa diterima dengan pendekatan teori siklus dalam teori-teori perubahan sosial sebagaimana dikemukakan para penganut teori ini. Pitirim A. Sorokin (1889-1969), Oswald Spengler (1880-1936), dan Arnold Toynbee (1889-1975) sepakat bahwa peralihan masyarakat merupakan siklus berputar ke tahap awal untuk peralihan selanjutnya. Bahwa setiap peradaban besar mengalami proses pentahapan kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan dan akan berputar terus. Dengan berpegang pada teori ini maka sangat lumrah kalau sebagian kalangan menghitungnya dengan siklus 7(tujuh) abad tersebut.
Seolah menguatkan berbagai ramalan sebelumnya yang masih abu-abu soal kepastian tempus dan kejelasan deskripsi kejayaan itu, lembaga-lembaga internasional dengan yakin memprediksi Indonesia akan menjadi pemain utama global dan menjadi salah satu negara pemegang kendali ekonomi dunia. Mereka dengan jelas memprediksi kejayaan Indonesia itu akan terjadi pada tahun 2030, dengan posisinya yang berbeda. Seperti halnya oleh McKinsey Global Institute (2012), pada tahun tersebut Indonesia akan masuk sebagai salah satu negara dengan perekonomian terbesar ke-7 di dunia. Berbeda posisi dengan sebelumnya Pricewaterhouse Coopers (2017) justru lebih maju menempatkan Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-5. Prediksi yang lebih mencengangkan oleh Standard Chartered, Plc (2019) justru menempatkan Indonesia pada posisi ke-4 sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Dan ini juga diperkuat oleh Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi Negara-Negara Maju (OECD) (2022) memperkirakan bahwa pada tahun 2045 ekonomi Indonesia menjadi yang terbesar ke-4 di dunia.
Sejenak direnungkan, semuanya cukup beralasan, logis, masuk akal dan tentu saja sangat diterima secara ilmiah, apalagi melihat reputasi lembaga-lembaga internasional tersebut dengan sejumlah hasil karya yang bernas berbasiskan data awal yang valid, metode yang presisi dan hasil analisis yang akurat. Mereka bukan peramal abal-abal yang bekerja atas dasar tipu daya terhadap klien, karena nafsu terhadap harta si klien atau niat bejat lainnya yang terselubung sebagaimana yang telah dibongkar kedoknya oleh pesulap merah.
Beberapa pertimbangan mungkin menjadi argumentasi keberanian lembaga-lembaga tersebut mempertaruhkan reputasi mereka dengan menyatakan Indonesia pada posisi tersebut di tahun 2030. Bisa jadi kalkulasi mereka berangkat dari fakta potensi sumber daya Indonesia yang berlimpah terutama jumlah penduduk yang besar dan juga keanekaragaman sumber daya alam yang sangat variatif baik di atas bumi maupun di dalam perut bumi. Ini sebagai modal utama membangun bangsa. Saat ini Indonesia menempati posisi keempat sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia sebagaimana dikutip dari laporan Worldmaters (2020). Jumlah Penduduk yang besar ini tentu merupakan potensi pangsa pasar yang besar dan menggiurkan secara bisnis, apalagi populasi penduduk besar tersebut didominasi usia produktif. Ini jelas menjadi nilai unggul yang membedakan dengan negara lainnya. Dari sisi sumber daya alam, bumi Indonesia menyimpan ragam hayati maupun nonhayati yang menjadi sumber bahan baku produksi berbagai bahan konsumsi masyarakat di dunia. Beberapa negara sangat tergantung dengan sumber daya alam kita, bahkan ada komoditas esensial hanya diperoleh di tanah nusantara ini. Contoh nyata ketika dunia menjerit dengan sawit dan batubara yang dihentikan ekspor oleh presiden. Tentu masih banyak lagi sumber daya lainnya. Kondisi ini semakin menegaskan bahwa modal sebagai pemain utama dunia sudah ada bahkan memiliki posisi tawar tinggi di mata dunia. Jika modal tersebut dikelola dengan baik maka tangga menuju tempat sejajar dengan negara maju lainnya semakin terbuka, artinya ramalan dan prediksi lembaga-lembaga tersebut menjadi nyata terbukti.
Sepatutnya hal ini semakin meningkatkan rasa percaya diri kita untuk membuktikan atau mewujudnyatakannya melalui pengelolaan negara secara lebih baik, melibatkan peran seluruh komponen bangsa. Konkritnya adalah memperbaiki kondisi yang keliru, melengkapi yang kurang, serta meningkatkan semangat etos kerja lebih produktif. Setiap insan anak bangsa dapat mulai mengaktifkan adrenalinnya untuk beralih pada semangat baru yang siap melangkah menjemput Indonesia maju dengan sikap optimis. Kata kunci pengelolaan negara atau manajemen pemerintahan harus menjadi perhatian serius mengingat implikasinya pada eksistensi Negara ini kedepannya, terpecah atau berjaya.
Mengubah Perilaku
Fakta sosial masyarakat Indonesia yang dipersepsikan sebagai bangsa reaktif (Dewi Fortuna Anwar, 2005), cepat puas, kurang disiplin, perilaku elit yang koruptif dan masyarakat yang mudah terprovokasi adalah pekerjaan rumah terbesar saat ini yang harus dibereskan. Untuk menggapai harapan Indonesia emas sebagaimana prediksi berbagai kalangan, cara paling efektif adalah mengubah perilaku. Perubahan perilaku secara esensial merupakan proses belajar pada individu (Notoatmodjo, 2012). Hanya dengan kesadaran kolektif meninggalkan stigma tersebut diyakini akan meningkatkan energi positif bangsa meraih cita-citanya. Dengan upaya transformatif atas sikap, komitmen, perilaku dapat menghasilkan idealisme baru, budaya baru dan nilai baru negeri ini. Untuk itu seluruh komponen anak bangsa baik kaum elit di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan, di level nasional maupun lokal, aparat birokrasi sipil dan militer, masyarakat secara kelompok maupun perorangan, tua maupun muda, perempuan maupun laki-laki memiliki tanggungjawab moral mengambil posisi mengubah diri menuju tatanan Indonesia baru.
Perubahan menuju tatanan baru secara massal dan masif melalui gerakan sosial (social movement) telah di mulai sejak reformasi. Terjadi pergeseran sistem politik pemerintahan dari otoritarian ke demokrasi sekaligus mengubah struktur dan interaksi sosial dalam masyarakat. Dalam praktiknya semangat perubahan yang diharapkan belum tercapai secara signifikan. Perilaku elit pemerintah maupun di luar pemerintah, di level nasional maupun lokal masih memprihatinkan sehingga masyarakat merasa terabaikan hak-hak mereka. Atas kesadaran terhadap kondisi tersebut kemudian pemerintah berbagai rezim melakukan berbagai upaya perubahan berikutnya secara komunal terutama pada sistem dan kelembagaan pemerintah. Dengan asumsi perubahan akan lebih efektif dimulai dari aparat penyelenggara dan akan memberikan efek besar bagi masyarakat, setiap rezim menempatkan aspek perbaikan tata kelola birokrasi sebagai bagian strategi mensukseskan program pemerintahannya. Puncaknya pada deklarasi gerakan reformasi birokrasi yang mencakup kelembagaan, tata laksana, budaya kerja, dll. Melihat fakta yang jauh dari harapan kemudian Presiden Jokowi menghadirkan gerakan revolusi mental yang menyasar pada seluruh sendi kehidupan. Ini tentu diyakini sebagai solusi memperbaiki kondisi bangsa sekaligus menggerakan semangat baru untuk menuju Indonesia sejajar dengan negara lainnya. Ide besar revolusi mental ini berkaitan dengan upaya mengubah cara pandang, pikiran, sikap, perilaku yang berorientasi pada kemajuan dan kemodernan, sehingga Indonesia menjadi bangsa besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa ‐bangsa lain di dunia.
Gerakan demi gerakan yang terjadi sejatinya memperlihatkan bahwa telah tumbuh kesadaran diri untuk bangkit. Kalau terus berkembang jumlah orang sadar, mau berubah setiap waktu, akan semakin mengurangi jumlah orang diam, pasrah, apatis, sekaligus meniadakan kelompok orang yang menyerahkan pada kondisi. Kelak akan menjadi panggilan hati nurani bangsa yang secara otomatis muncul bersamaan dari alam sadar maupun alam bawah sadar, selalu membudayakan perilaku positif dan produktif.
Jadi, pencapaiannya perlu komitmen bersama dengan menempatkan para elit pemerintah maupun non pemerintah sebagai prime mover-nya. Komitmen berubah yang ditunjukan secara konsisten antara pikiran, hati nurani, perkataan, dan tindakan akan menjadi kesepakatan sosial baru yang melahirkan sistem dan tatanan baru.
Merawat Semangat Juang
Sejarahwan Anhar Gonggong (2022) mencatat hanya ada tiga negara di dunia yang berjuang dengan darah dan keringat meraih kemerdekaan yaitu Indonesia, Aljazair dan Vietnam. Ini menegaskan bahwa kita bukan bangsa kaleng-kaleng sebagaimana istilah “anak jaman now”. Kemerdekaan kita bukan pemberian tetapi hasil perjuangan. Sebagai bangsa pejuang, semangat juang para founding fathers meraih kemerdekaan sepatutnya mengalir terus pada setiap generasi. Nilai kegigihan the founding fathers, sepatutnya menjadi model mental anak bangsa yang harus terus digerakan pada setiap sendi kehidupan.
Setiap warga negara dalam panggilan berkarya dan melangsungkan hidupnya di negeri ini harus menunjukan mental sebagai pejuang. Mental inilah yang menjadi properti abstrak tak terlihat dan menjadi sifat bawaan khas orang Indonesia. Ciri mental pejuang harus menjadi keutamaan dalam sanubari, seperti halnya bekerja tiada henti, tidak kenal lelah dan pantang menyerah untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Ini telah dipraktikan oleh para pendahulu negeri ini, di mana mereka menjadikan semangat heroik sebagai keutamaan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Untuk mengisi dan melanjutkan kemerdekaan saat ini dan kedepannya, semangat juang ini harus terus dirawat dengan mengembangkan nilai-nilai strategis kekinian seperti nilai integritas yang dapat dipercaya, nilai etos kerja yang profesional, mandiri, kreatif, serta nilai gotong-royong yang saling menghargai.
Harapan Menuju Indonesia Emas
Memaknai Indonesia emas tentu bukan hanya pada hitung-hitungan terhadap capaian angka 100 tahun, tetap kokoh berdiri sebagai sebuah negara merdeka. Atau hanya sekedar ritual seremonial memeriahkannya dengan lomba permainan tradisional masyarakat seperti lari karung, makan kerupuk, tarik tambang, dll. Kita berharap lebih dari itu, pada saatnya nanti kita dapat memperlihatkan hasil nyata sebagai buah perjuangan selama satu abad perjalanan berbangsa dan bernegara. Kita mampu mendeklarasikan diri sebagai salah satu negara besar dengan menampilkan hasil pembangunan yang mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Ini jelas mengajak kita merefleksikan lebih jauh berbagai sektor pembangunan saat ini, terutama kemajuan-kemajuan yang mengubah wajah Indonesia diakui dan disegani negara lain. Jadi sembari menghitung hari menuju Indonesia emas, 23 tahun kedepan bisa dijadikan sebagai momentum konsolidasi nasional mengevaluasi target yang belum tercapai kemudian mempercepat proses pembangunan yang ada, sekaligus mengkalkulasi dan merencanakan apa yang hendak dilakukan setelahnya.
23 tahun sepatutnya menjadi masa krusial, semua anak bangsa memperbaiki kondisi Indonesia dengan semangat perubahan total dari level nasional sampai lokal menuju pada satu tujuan mewujudkan cita-cita luhur yang telah ditetapkan. Saatnya meletakan ramalan dan prediksi sebagai motivasi sekaligus energi baru untuk melakukan perubahan perilaku sikap dan komitmen serta menjadikan semangat juang pendahulu sebagai model mental setiap insan. Hilangkan rasa pesimis, skeptis dan sinis dan pikiran negatif lainnya tetapi mari meningkatkan semangat optimisme dengan terus membangun energi positif guna meraih Indonesia emas yang nyata bernilai emas di mata dunia. Indonesia emas harus benar-benar bermakna monumental yang melekat di setiap sanubari sekaligus mengantarkan pada pintu gerbang siklus berikutnya atau fase baru yang lebih maju bukan sekedar ritual seremonial. Indonesia emas harus menjadi kebanggaan seluruh masyarakat atas sederet karya yang telah dihasilkan. Semua orang harus dapat berkisah tentang kemajuan dengan bangga dan bahagia, bukan ratapan kekhawatiran karena ketidakpastian.
Mari melakukan terobosan, inovasi, transformasi, meninggalkan zona nyaman atau kondisi keterberian saat ini demi Indonesia emas pada tahun 2045. Tidak ada waktu untuk bersantai dalam goa gelap, namun kita harus mampu melakukan hal-hal besar setiap hari dengan fokus pada cahaya yang telah kita lihat untuk menuntun kita keluar dari goa gelap ini. Kita harus memiliki harapan bahwa kita akan melihat cahaya yang lebih besar dari kondisi sekarang dan semua anak bangsa akan menikmatinya. Ini tergantung apa yang kita lakukan saat ini selama kurun waktu 23 tahun kedepan. Ungkapan bijak tokoh gerakan kemerdekaan India “Mahatma Gandhi” dapat menjadi permenungan bersama pada momentum perayaan 17 agustus ini bahwa Masa depan tergantung pada apa yang kita lakukan hari ini. Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-77 – Merdeka!