Oleh: Petrus Polyando
Tangal 25 April merupakan hari yang bermakna bagi Bangsa Indonesia, dimana publik diajak untuk memperingati hari otonomi daerah. Sekilas belum terlalu familiar di masyarakat sehingga tidak ada acara pesta rakyat “wouh” yang dilakukan untuk menyambutnya. Kalaupun dilakukan hanya segelintir orang, instansi, pejabat dalam bentuk ritual upacara atau bedah buku bagi kalangan akademisi / ilmuwan politik pemerintahan sesuai dengan tema yang diusung setiap tahunnya. Tidak ada ucapan yang jelas kepada siapa dituju dengan jargon tertentu kecuali ajakan selamat memperingati yang sifatnya umum saja di media sosial. Ini memang patut dimaklumi mengingat belum membumi hari OTONOMI DAERAH dan belum ada format acara apa yang menjadi khas serta menyentuh memori orang seperti hari Lainnya semisal Hari Buruh yang langsung merangsang ingatan orang pada demo, konvoi, orasi dll oleh para buruh. Hari Korpri yang langsung mengingatkan orang pada Baju Batik Korpri dan upacara oleh para abdi negara.
Tentu banyak argumen muncul atas situasi tersebut sebagai bahan diskusi bagi yang mau menyorotinya. Seperti halnya bisa jadi Otonomi Daerah ini masih bersifat elitis di kalangan pemerintah pusat dan daerah serta belum menjadi gerakan yang berasal dari masyarakat daerah, sehingga sering diperingati hanya oleh sekelompok pemangku kekuasaan pusat dan daerah. Atau bisa juga karena tidak jelas untuk siapa ditujukan atau untuk apa otonomi daerah ini dan untuk apa harus dirayakan secara khusus setiap 25 april. Di sisi lain bisa juga masyarakat lokal sendiri belum merasakan dampak otonomi daerah bagi kesejahteraan sebagaimana tujuan mulianya sehingga mereka tidak peduli arti penting hari ini bagi mereka. Dugaan bisa macam-macam dan publik berhak menyorotinya.
Sebagai ilmuwan pemerintahan, menarik membedah wacana dampak otonomi daerah yang belum dirasakan sebagian masyarakat lokal. Fakta menunjukan otonomi daerah telah dilaksanakan bersamaan dengan sistem politik demokrasi selama lebih kurang dua dekade. Sebagian daerah memang telah merasakan manfaat kebijakan ini dan telah tumbuh dan berkembang meningkat pesat kesejahteraannya. Namun demikian, sebagian daerah masih belum berubah signifikan kesejahteraan masyarakatnya dibanding kondisi sebelum kebijakan otonomi daerah. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan angka IPM sebagai alat ukur terhadap capaian pembangunan manusia yang mencakup dimensi pokok pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat. Perbandingan daerah sejahtera dan belum sejahtera tersebut tampak pararel dengan polarisasi yang sering muncul selama ini, seperti Jawa-Luar Jawa, Barat-Timur, Desa-Perkotaan, Darat-Kepulauan, Perbatasan/pinggiran-Ibu Kota. Ini menunjukan otonomi daerah yang telah disepakati sebagai pilihan mengelola negara ini secara bersama belum signifikan berkontribusi meningkatkan kesejahteraan bagi sebagian daerah.
Salah satu daerah yang belum meningkat tersebut adalah daerah kepulauan. Data menunjukan pergerakan IPM daerah-daerah ini masih jauh dibawah daerah nonkepulauan (Polyando, 2020). Kalau melihat durasi waktu implementasi selama ini dan besarnya sumber daya yang diserahkan dengan format regulasi silih berganti semestinya telah mengakomodasi kebutuhan daerah ini dan telah mengubah wajah sejahtera daerah ini. Namun fakta kondisional IPM dan berbagai ketertinggalan lainnya memberikan kejelasan soal pilihan otonomi daerah yang diterapkan. Tentu ada banyak faktor yang diperdebatkan dan banyak aspek yang perlu didiskusikan, terutama mengenai kesesuaian bentuk otonomi daerah dengan kondisi geografis, keunikan budaya masyarakat dan perbedaan latarbelakang sejarah dll. Intinya ada kepentingan besar daerah ini yang belum terakomodasi, dan karena itulah seolah menjadi jawaban mengapa masyarakat tidak tertarik dengan hari otonomi daerah.
Secara psikologis, orang tertarik dan terkesan kemudian mengabadikan sebuah momen hidupnya dan terus-menerus mengenangnya dan meritualkan dalam acara khusus karena ada suatu peristiwa yang sangat berharga. Peristiwa dimaksud telah mengubah hidupnya, telah memberikan dampak besar bagi perilaku orang sehingga sangat sulit dilupakan. Dan hal inilah berlaku bagi masyarakat kepulauan yang belum merasakan dampak otonomi daerah bagi kesejahteraan mereka sehingga mereka dapat saja mengganggap tidak ada yang istimewa dengan otonomi daerah. Lalu untuk apa harus dirayakan? Memang sebagian elit lokal di daerah ini merasakan dampak yang sangat besar terutama menikmati sirkulasi kue kekuasaan dan fasilitas yang menyertainya. Namun kondisi masyarakatnya tetap tidak berubah akibat ketertinggalan dan keterbatasan yang dialaminya.
Jadi, ini soal komitmen membangun daerah melalui pilihan otonomi daerah yang sinergis mengakomodasi kepentingan strategis nasional dan kebutuhan masyarakat lokal. Kalau konsisten dengan otonomi daerah maka perlu kejujuran semua pihak baik pusat maupun daerah dalam merumuskan formula yang mampu menyelesaikan masalah lokal yang terjadi secara umum termasuk masalah spesifk daerah kepulauan. Pemerintah pusat perlu jujur menyerahkan kewenangan yang dibutuhkan daerah, demikian pula daerah perlu jujur menyampaikan kebutuhan riil masyarakat sehingga akan melahirkan format otonomi daerah yang solusional. Tentu ini mengenai format asimetris bagi daerah kepulauan sebagai pendekatan yang berbeda dalam kebijakan otonomi daerah. Dengan begitu, daerah-daerah yang tertinggal ini dapat mengejar pembangunan secara masif untuk dapat mensejahterakan masyarakatnya. Pada akhirnya, orang daerah akan secara sadar dan bangkit menyanyikan yel sukacita secara bersama mengungkapkan kebahagiannya tentang Otonomi Daerah. Apabila terwujud maka 25 April bukan lagi milik elit pemerintah pusat dan daerah tetapi milik masyarakat sebagai gerakan sosial Orang Lokal Bangkit sehingga perayaannya akan berbeda. Inilah cara membuat hari otonomi daerah ini menjadi bermakna bagi semua daerah termasuk daerah kepulauan.