
Oleh: Yulia Fitriani, Universitas Trilogi
Pada saat ini kasus-kasus yang menyangkut semakin tergerusnya etika dari pemimpin publik semakin mengemuka dan bahkan beberapa pejabat publik yang melakukan pelanggaran etika tersebut seolah olah menganggap kasus tersebut bukan suatu kejadian yang luar biasa dan dilakukan juga oleh pemimpin publik lainnya.
Pelanggaran etika yang terjadi dari pemimpin publik lebih banyak didominasi oleh kasus korupsi. Dari tahun ke tahun wajah pemimpin publik seperti gubernur, bupati, walikota yang tersangkut korupsi dengan berbagai macam kasus semakin marak menghiasi headline di media cetak dan elektronik. Terlepas dari opini yang menggiring bahwa kasus korupsi yang dituduhkan kepada seorang pemimpin publik sering dikaitkan dengan rekayasa politik, tetapi realitanya pemimpin publik tersebut khususnya kepala daerah mayoritas masuk dalam OTT dari KPK dengan buktibukti yang sudah dipegang oleh KPK.
Pada tahun 2017 saja, hingga bulan September sudah 5 Kepala Daerah yang terjerat kasus korupsi, diantaranya adalah Gubernur Bengkulu, Ridwan atas dugaan suap pada proyek peningkatan jalan Tesmuara Aman dan proyek peningkatan jalan Curug Air Dingin Kabupaten Rejang Lebong. Dalam kasus ini, Ridwan diduga mendapat commitment fee Rp 4,7 miliar dari proyek itu. Kemudian Bupati Pamekasan Achmad Syafii sebagai tersangka pada Rabu (2/8/2017) dalam kasus dugaan suap untuk menghentikan penanganan kasus korupsi penyelewengan dana desa. Selain Achmad, KPK menetapkan empat orang lainnya sebagai tersangka yakni Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra Prasetya, Kepala Inspektorat Kabupaten Pamekasan, Sucipto Utomo, Kepala Desa Dasuk Agus Mulyadi, dan Kepala Inspektorat Kabupaten Pamekasan Noer Solehhoddin. Pada tahun yang sama Tim KPK menangkap Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno pada Selasa (29/8/2017) di Rumah Dinas Wali Kota di Kompleks Balai Kota, Kota Tegal bersama dua orang lainnya yakni Ketua DPD Partai Nasdem Brebes Amir Mirza Hutagalung dan Wakil Direktur RSUD Kardinah Cahyo Supriadi. Walikota Tegal ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pengelolaan dana jasa pelayanan RSUD Kardinah Kota Tegal Tahun 2017 dan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Kota Tegal tahun 2017. Siti diduga menerima suap Rp 5,1 miliar. Kemudian KPK menetapkan Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen sebagai tersangka pada Kamis (14/9/2017), pasca-operasi tangkap tangan yang dilakukan sehari sebelumnya. Dalam kasus ini, selain Bupati OK Arya, empat orang lainnya yakni Kadis Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Helman Herdady, seorang pemilik dealer mobil Sujendi Tarsono alias Ayen, dua orang kontraktor bernama Maringan Situmorang dan Syaiful Azhar, turut ditetapkan sebagai tersangka. OK Arya menjadi tersangka kasus suap pengerjaan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Batubara tahun 2017. Ia diduga menerima fee Rp 4,4 miliar dari tiga proyek pembangunan jembatan. Pada bulan September 2017, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko ditetapkan sebagai tersangka pada Minggu (18/9/2017) pasca operasi tangkap oleh tim KPK di rumah dinasnya sehari sebelumnya. Ia menjadi tersangka dugaan suap proyek belanja modal dan mesin pengadaan meubelair di Pemkot Batu tahun anggaran 2017 senilai Rp 5,26 miliar, yang dimenangkan PT Dailbana Prima. Dalam kasus ini, Eddy Rumpoko diduga menerima suap Rp 500 juta atau sekitar 10 persen dari nilai proyek.
Dengan terpaparnya beberapa kasus korupsi tersebut, maka perlu dipertanyakan tentang makna dan realisasi etika bagi para pemimpin publik khususnya kepala daerah. Integritas pemimpin publik sering dipertanyakan pada saat pemimpin publik tersebut terjerat dalam kasus pelanggaran etika publik. Sebagai pemimpin di suatu daerah, para pemimpin publik menjadi cerminan baik bagi aparat birokrasi dan bagi masyarakat di daerah tersebut. Masyarakat tentunya menginginkan kepala daerah mereka merupakan sosok yang ‘bersih’ dan dapat menjadi teladan bagi masyarakat di daerah tersebut. Dengan demikian, penghayatan akan etika publik harus benar benar menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sosok kepala daerah bahkan menjadikan acuan atau landasan bagi pemimpin publik dalam berperilaku dan memimpin suatu pemerintah daerah.
Pemimpin menurut Syafii adalah orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu (2013: 132). Seorang pemimpin dapat mempengaruhi orang lain sehingga orang lain akan melakukan tindakan sesuai yang diinginkan pemimpin tersebut dalam rangka pencapaian suatu tujuan. Ordway Tead mengemukakan sifat-sifat pemimpin adalah energi jasmani dan rohani, kepastian akan maksud dan tujuan, entusiasme, ramah, penuh persahabatan dan tulus, integritas (pribadi yang bulat), kecakapan teknik, mudah menatapkan keputusan, cerdas, cakap mengajar, keyakinan (Pamudji 1993: 74 -75). Sifat-sifat pemimpin tidak jauh dari integritas seseorang dan sifat tersebut akan membawa pemimpin mempengaruhi orang lain atau kelompok dengan energi yang positif.
Dikatakan oleh Sedarmayanti bahwa pemimpin bangsa abad 21 harus memiliki minimal beberapa kemampuan kompetensi diantaranya adalah kemampuan pribadi yang meliputi memiliki integritas tinggi (jujur, loyal, beriman), memiliki visi yang jelas, intelegensia tinggi kreatif dan inovatif, tidak mudah puas, fleksibel dan memiliki kematangan jiwa, sehat jasmani dan rohani, memiliki wawasan dan kharismatik, mempunyai idealisme dan cinta tanah air (2009: 142 – 143). Setangguh dan secerdas apapun seorang pemimpin tetapi pemimpin tersebut tetap harus memiliki integritas yang tinggi sehingga kemampuan dan kecerdasan yang dimiliki tidak disalahgunakan untuk memanipulasi setiap tindakan yang dilakukan. Terlebih kepemimpinan publikatau kepemimpinan pemerintahan khususnya pemerintah daerah harus mampu merepresentasikan dirinya sebagai sosok yang cerdas sekaligus memiliki kepribadian yang menjunjung tinggi nilai-nilai etis. Integritas dirinya tidak akan dipertaruhkan untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai etika publik yang berlaku
Menurut Sedarmayanti, saat ini banyak pihak yang mendambakan pemimpin yang mampu membawa ke arah yang lebih baik, mendambakan pemimpin sejati, yang mampu menghadirkan visi, mengintegrasikan makna hidup di dalamnya dan perilaku lain yang dibangun berdasar prinsip dan etika universal yang menguntungkan masyarakat (2009: 201 – 202).
Ekspetasi dari masyarakat atau siapapun sangat mendasar yaitu memiliki sosok pemimpin publik yang berintegritas. Mengintegrasikan makna hidup dalam perilakunya yang dibangun berdasar prinsip dan etika universal kiranya menjadi landasan kuat bagi pemimpin publik untuk bertindak. Segala tindakan bila dilandasi oleh perilaku etis akan memberi dampak positif bagi aparat birokrasi dan masyarakat di daerah tersebut. Pemimpin adalah orangnya, sedang kepemimpinan menurut Sedarmayanti adalah seni mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan, kepercayaan, kehormatan dan kerja sama yang bersemangat dalam mencapai tujuan bersama (2009: 121).
Sedang kepemimpinan birokrasi adalah kemampuan mempengaruhi dan memberikan motivasi kepada bawahan yang berdampak kepada meningkatnya kinerja pegawai yang dipimpinnya (Pasolong 2013: 118). Dengan demikian, kepemimpinan birokrasi atau kepemimpinan publik merupakan kemampuan seorang pemimpin publik untuk mempengaruhi aparat birokrasi dan memotivasi mereka untuk meningkatkan kinerjanya agar penyelenggaraan pelayanan publik dapat menjadi lebih optimal. Disebutkan oleh Kaloh bahwa salah satu karakteristik kepemimpinan pemerintahan, khususnya kepala daerah adalah tanggap terhadap kondisi politik, baik dalam organisasi pemerintahan maupun dalam masyarakat, serta memberikan jawaban atau tanggapan atas kritik, saran dan mungkin juga pengawasan yang datangnya dari masyarakat, serta tanggap terhadap harapan dan kebutuhan masyarakat (2014: 5 – 6). Ditambahkan oleh Kaloh bahwa keadaan dan tantangan yang dihadapi oleh kepala daerah antara lain bagaimana mewujudkan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab yang didukung oleh kualitas sumber daya aparatur yang prima, sumber alam dan sumber keuangan serta sarana dan prasarana yang memadai, yang mampu meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dan kehidupan masyarakat melalui program dan trategi pelayanan dan pemberdayaan (2014: 6).
Karakteristik kepemimpinan publik khususnya kepala daerah harus fokus untuk mengembangkan organisasi pemerintahan agar semakin berdaya guna dalam melayani kepentingan publik, tanggap dan peka terhadap apa yang menjadi ekspetasi masyarakat di daerah tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya tidak mudah menjadi pemimpin publik khususnya kepala daerah mengingat tugas dan tanggung jawabnya luas baik fokus ke dalam organisasi publik itu sendiri maupun kepada masyarakat. Untuk itu dibutuhkan pemimpinpublik dalam hal ini kepala daerah yang memiliki kredibilitas dan integritas yang tinggi untuk mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut. Bahkan Kartasasmita menyatakan bahwa kepemimpinan sangat penting dan amat menentukan dalam kehidupan setiap bangsa karena maju mundurnya masyarakat, jatuh bangunnya bangsa ditentukan oleh pemimpinnya (Pasolong 2013: 18). Kepemimpinan publik khususnya kepala daerah menjadi penentu keberhasilan pembangunan di daerahnya dan penentu keberhasilan dalam memotivasi dan menggerakkan bawawahannya agar memiliki jiwa pelayanan sehingga mampu melayani masyarakat dengan baik. Keberhasilan tersebut tidak lepas juga dari sosok pemimpin publik atau kepala daerah yang melandasi etika universal dalam setiap perilakunya. Terlebih saat ini konsep tentang kepemimpinan pelayan selalu menjadi wacana yang selalu dibangun dan diopinikan sehingga sosok pemimpin publik yang memiliki integritas yang tinggi sangat dibutuhkan. Pasolong mengatakan bahwa karakteristik kepemimpinan pelayan adalah mendengarkan, empati, menyembuhkan, kesadaran diri, persuasif, konseptualisasi, kemampuan untuk melihat masa depan, kemampuan melayani, komitmen pada pertumbuhan individu dan membangun komunitas (2013: 66). Kemampuan melayani harus didasarkan pemahaman bahwa kepentingan pribadi tidak boleh di atas kepentingan publik. Dengan demikian, tindakan melakukan korupsi yang sarat dengan kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan untuk sosok pemimpin pelayan terutama kepala daerah yang mengelola pemerintah daerah dan melayani masyarakat di daerah tersebut.