Oleh: Dr. Petrus Polyando, M.Si.
Diskusi tentang eksistensi ilmu pemerintahan kembali menggairahkan kalangan pembelajar, praktisi maupun ilmuwan ditengah hiruk pikuk suasana praktik pemerintahan dan perubahan sosial yang masif. Seolah ada dorongan yang luar biasa akibat virus covid-19, para pemangku kepentingan ilmu ini semakin aktif menggelar temu ilmiah secara rutin maupun berkala, baik sebatas internal maupun secara meluas melibatkan khalayak umum dengan hybrid event yang menggabungkan antara pertemuan secara fisik dan virtual. Momentum pandemi serta didukung dengan perkembangan teknologi, informatika dan komunikasi yang ada membuat para pihak semakin intens berbagi panggung menyorot isu-isu penting terkait ilmu ini dari segi ontologi, epistimologi dan aksiologi. Tercatat beragam komunitas dari berbagai asosiasi seperti halnya ADIPSI, KAPSIPI, PADIP UNPAD, kybernologist, kybernolog dan Koki memanfaatkan media zoom meeting sebagai sarana silaturahmi berbagi cerita, ide, konsep soal ilmu ini dalam kesepakatan internal maupun pengakuan eksternal. Ini merupakan pertanda bagus mengembalikan hakikat ilmu ini sesungguhnya atau juga meletakan pada posisi yang sebenarnya sehingga jelas arah pengembangan di kampus maupun praktik di lapangan. Ada kesadaran kolektif untuk mewujudkan harapan akan peran ilmu ini dapat berkontribusi bagi kehidupan manusia.
Kembali pada topik yang diangkat dalam tulisan ini, Jalan Baru ilmu pemerintahan, Benarkah? Ini sebenarnya catatan singkat atas diskusi yang diselenggarakan oleh teman-teman pengusung Mazhab Timoho pada acara webinar 3 dengan tema Jalan Baru Ilmu Pemerintahan. Pada acara webinar ini menghadirkan lima narasumber dari ilmuwan maupun praktisi seperti halnya Dr. Sutoro Eko (Penggagas Mashab Timoho), Dr. Teguh Yuwono (Ketum ADIPSI), Dr. Muthar (Dosen Unibraw) serta Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) dan Lilik Ratnawati (Kepala Desa Plawikan). Catatan menarik adalah pertanyaan peserta mengenai mana yang tepat membicarakan topik yang relevan dengan ilmu pemerintahan? Ini sebenarnya menggugat obyek formal ilmu pemerintahan atau lebih gamblang lagi sebenarnya mempersoalkan ilmu pemerintahan ini bergerak dalam disiplin apa? Sekilas diterangkan oleh Dr. Sutoro Eko yang luar biasa menekankan berulang-ulang gagasannya mengenai posisi ilmu ini yaitu sebagai connecting atau yang menghubungkan dinamika kepentingan politik dengan perilaku administrasi. Dan inilah yang diklaim sebagai jalan baru agar ditindaklanjuti oleh asosiasi dalam kesepakatan bersama untuk pengembangan ilmu pemerintahan di kampus secara lebih fokus. Terlepas dari pro dan kontra, setuju dan tidak setuju terhadap ide ini, niat mulianya adalah menegaskan arah pengembangan ilmu pemerintahan yang jelas berkarakteristik Indonesia.
Terhadap gagasan ini, sebagai pembelajar ilmu pemerintahan patut diberikan apresiasi atas keberanian teman-teman pengusung Mashab Timoho terutama untuk Dr. Sutoro Eko yang semakin kritis dan berusaha memberikan alternatif atas persoalan yang menjadi kegalauan publik terhadap ilmu pemerintahan. Pertanyaan peserta dalam acara tersebut sesungguhnya mewakili publik menyoal keberadaan ilmu ini. Dimanakah peran ilmu ini ketika pemerintahan menjadi sering disorot karena berbagai persoalan yang terjadi? Mana solusi dari ilmu ini atas gejolak persoalan masyarakat yang semakin menggunung dengan berbagai keluhan mengenai hak-hak publik mereka yang belum terpenuhi? Tentu masih banyak pertanyaan kritis lainnya yang menuntut solusi dari ilmu ini atas kondisi negara.
Sekilas gagasan connecting yang diterangkan oleh Dr. Sutoro Eko sebagai klaim jalan baru ilmu pemerintahan cukup menarik untuk dibahas yang tentunya kalau disepakati ilmuwan pemerintahan maka akan menjadi inti pengembangannya di kampus. Dalam pandangan saya gagasan connecting ini sebenarnya sejalan dengan gagasan Clinton Roosevelt (1941:7) dalam bukunya The Science of Government yang mengemukakan bahwa ilmu pemerintahan menjadi penyelaras atau sebuah ilmu pengetahuan yang dapat menyelaraskan keadaan yang kacau balau menjadi sesuatu yang diinginkan manusia. Ini juga sejalan dengan pandangan Augustinus yang mengaminkan manusia sebagai komunitas duniawi (civitas terena) merupakan sesuatu yang buruk sehingga membutuhkan organ negara dan demi penertiban kondisi tersebut diperlukan ilmu yang menertibkan.
Jadi, gagasan connecting sebenarnya bukanlah jalan baru terutama bagi mereka yang memegang prinsip yunani kuno maupun ungkapan latin Nil Novi Sub Sole atau di bawah matahari tidak ada yang baru. Bahkan kalau merujuk beberapa pandangan filsuf modern yang telah sepakat bahwa fenomena sosial yang terjadi merupakan siklus yang berulang, artinya yang terjadi sekarang adalah peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau dan juga akan terjadi lagi di masa yang akan datang. Terlepas dari pro dan kontra yang muncul, konsep ini patut dipertimbangkan sebagai jawaban atas debatable ilmuwan pemerintahan maupun pembelajar ilmu pemerintahan mengenai wilayah pengkajian ilmu ini. Perlu memperluas pemahaman connecting bukan hanya menghubungkan dinamika kepentingan politik dengan perilaku administrasi, kemudian antara yang memerintah dan yang diperintah tetapi juga melekat dengan dimensi waktu yang menghubungkan masa lalu, masa kini dan masa depan, yang menghubungkan semua bidang sosial agar selaras dalam sistem kehidupan yang diharapkan. Dari sini akan menjadi ilmu yang memimpin hidup bersama manusia ke arah kebahagiaan yang sebesar-besarnya (Van Poeltje, 1953:28) sekaligus mengembalikan ilmu ini sebagai primus interpares yakni induk dari ilmu kenegaraan lainnya.
Sehubungan dengan itu, langkah konkrit yang perlu dilakukan agar tidak berputar putar soal ini adalah mendiskusikan gagasan ini secara serius di lingkungan internal berbagai komunitas atau asosiasi ilmuwan pemerintahan. Kemudian mengambil kesepakatan bersama menyetujui atau mengusulkan gagasan lainnya. Keberanian tersebut diteruskan dalam aksi nyata perbaikan kurikulum di lingkungan kampus maupun perubahan lainnya dalam karya-karya yang mendukung pengembangan ilmu ini. Intinya polemik mengenai obyek forma perlu disepakati agar tidak menimbulkan multi-tafsir bahkan ambigu dalam mengambil posisi yang sebenarnya melalui karya ilmiah maupun karya besar lainnya sebagai solusi atas persoalan bangsa ini. Kejelasan tersebut akan membuat ilmuwan pemerintahan semakin percaya diri dalam menempatkan diri di antara ilmu kenegaraan lainnya dalam forum apapun. Dan tentu semakin fokus hadir memberikan solusi bagi persoalan kehidupan manusia sebagai komunitas duniawi. Akhirnya akan ada pemetaan yang jelas pengembangan ilmu pemerintahan yang solusional bagi NKRI.