
Balige, aspirasipublik.com – Kelompok masyarakat yang menamakan dirinya Himpunan Mayarakat Adat Pomparan Raja Ompu ratus Simangunsong yang berasal dari Desa Hutanamora Kecamatan Balige kabupaten Toba Sumatera Utara membuat laporan Polisi perihal perbuatan Perusakan atas bangunan yang dilakukan oleh beberapa masyarakat yang berasal dari Desa Huta Dame Kecamatan Balige kabupaten Toba yang terjadi pada tanggal 7 Februari 2022 pada pukul 15.00 wib di Onanjoi Desa Hutanamora Kecamatan Balige Kabupaten Toba dengan Surat tanda Terima Laporan Pengaduan Nomor :STTLP/38/II/2022/ SU/TBS dengan nama pelapor Janner Simangusong, adapun para terlapor pelaku perusakan tersebut ada sebanyak 25 orang.
Seperti yang diterangkan oleh pelapor yang juga didampingi oleh kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Horadoktus Silitonga, SH & Rekan, perbuatan perusakan tersebut terjadi secara massal dilakukan oleh para pelaku terhadap bangunan yang sedang dalam tahap pembangunan, bangunan yang dirusak tersebut adalah bangunan Perhimpunan Pomparan Raja Ompu Ratus Simangunsong/Sanduduk Boru Baho, bangunan tersebut didirikan diatas tanah ulayat Pomparan Raja Ompu Ratus Simangunsong, dan tidak diketahui jelas apa yang menjadi motif perusakan yang dilakukan para terlapor sehingga bangunan yang seharusnya sudah berdiri dengan baik harus rata dengan tanah.

Pada saat terjadinya aksi perusakan yang dilakukan oleh para terlapor secara massal tersebut, sempat menimbulkan ketegangan antara pihak Pomparan Raja Ompu Ratus simangunsong dengan para pelaku perusakan, namun sebelum terjadi konflik antar warga, beruntung Petugas kepolisian dari Polsek balige segera datang ke lokasi kejadian juga kepala Kepolisan Polsek Balige turut hadir di tempat kejadian, Kapolsek Balige mencoba menenangkan dan menghimbau massa yang bersitegang menunggu bantuan dari Mapolres Toba datang, sesampainya bantuan dari Mapolres Toba di tempat kejadian, para petugas kepolisian berdiskusi mencari upaya penyelesaian mengenai perusakan tersebut bersama dengan camat, kepala Desa Huta Dame dan kepala Desa Hutanamora, akan tetapi sampai pukul 18.30 wib tidak ada hasil dari upaya penyelesaian terhadap perusakan bangunan tersebut, sehingga massa pun berangsur-angsur membubarkan diri. Pada pukul 21.00 wib pihak dari Pomparan Raja Ompu Ratus Simangunsong mendatangi Mapolres Toba untuk membuat laporan pengaduan atas perbuatan perusakan tersebut, kemudian pada tanggal 16 Februari 2022 sekira pukul 13.00 wib pelapor menghadirkan saksi dan alat bukti dari perbuatan perusakan tersebut.
Setelah meninjau ke Desa Hutanamora tepatnya lokasi perusakan bangunan tersebut, tidak jauh dari tempat kejadian perkara ada spanduk yang bertuliskan TANAH INI MILIK KETURUNAN RAJA BOLTOK HORBO SIMANJUNTAK Berdasarkan:
- Putusan Pengadilan negeri Tarutung Nomor : 47.Pdt.G/1990/PN-Trt
- Putusan pengadilan Tinggi Medan Nomor :336/PDT/1991/PT.MDN
- Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2774 K/Pdt/1992
- Penetapan No: 47.Pdt.G/1990/PN-Trt oleh Pengadilan Negeri Tarutung
Seluas 27 Ha dibawah pengawasan LBH PALITO, Direktur Mekar Sinurat, SH
Ditempat kejadian perkara juga ada spanduk yang digelar yang bertuliskan TANAH SELUAS ± 27 Ha BUKAN MILIK KETURUNAN BOLTOK HORBO SIMANJUNTAK & PENETAPAN No.47.Pdt.G/1990/PN-Trt tanggal 19 Februari 1998 ADALAH PALSU.
Menurut pendapat warga sekitar yang bukan dari kedua belah pihak yang bersitegang, adapun peristiwa perusakan atas bangunan Pomparan Raja Ompu Ratus Simangunsong yang terjadi pada tanggal 7 Februari 2022 tersebut karena adanya saling klaim hak atas tanah.

Menurut penjelasan Riama Rosmida Simangunsong, SH yang juga salah satu kuasa hukum pelapor, bahwa spanduk yang bertuliskan Putusan Pengadilan Negeri Tarutung 47.Pdt.G/1990/PN-Trt, Putusan pengadilan Tinggi Medan Nomor :336/PDT/1991/PT.MDN serta Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2774 K/Pdt/1992 menjelaskan bahwa terhadap semua putusan tersebut tidak ada amar yang menyebutkan tentang kepemilikan yang sah atas tanah yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), adapun putusan tersebut hanya menyebutkan dan menguatkan menolak gugatan para penggugat, hal tersebut dibenarkan juga berdasarkan surat yang pernah dilayangkan para Penggugat tanggal 5 Desember 1997 dan tanggal 17 Januari 1998 ke Pengadilan Negeri Tarutung untuk menjelaskan tentang Putusan No.47/Pdt.G/1990/PN-Trt jo No.336/PDT/1991/PT.Mdn jo No.2774 K/Pdt/1992, adapun jawaban Pengadilan tarutung menjawab dengan balasan surat kepada para penggugat pada tanggal 20 Januari 1998 dengan salah satu poinnya Bahwa Putusan Pengadilan Negeri Tarutung, Putusan Pengadilan Tinggi Medan dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak pernah memberikan hak atas objek perkara kepada salah satu pihak, dan terhadap Penetapan No : 47.Pdt.G/1990/PN-Trt oleh Pengadilan Negeri Tarutung pada tanggal 19 Februari 2022 tidak pernah di ketahui kebenaran adanya penetapan tersebut, karena pada tanggal 8 Juni 1998 Para pengugat pernah menyurati Pengadilan Negeri Tarutung mengenai Penetapan tersebut, kemudian pada tanggal 17 Juni 1998 Pengadilan Negeri Tarutung menjawab dengan balasan surat kepada para penggugat bahwa Penetapan tanggal 19 Februari 1998 No.47/Pdt.G/1998/PN.Trt setelah diperiksa dalam register Perkara yang ada pada Pengadilan Negeri Tarutung mengatakan bahwa penetapan tersebut tidak ada terdaftar dalam register perkara perdata, dan tetap berprinsip pada surat pada surat balasan pada tanggal 20 Januari 1998.
Menurut pendapat Horadoktus Silitonga, SH kuasa hukum pelapor bahwa Putusan Pengadilan merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan karena adanya perselisihan ataupun sengketa antara pihak Penggugat dan pihak Tergugat, adapun perkara perdata nomor 47.Pdt.G/1990/PN-Trt timbul di Pengadilan Negeri Tarutung pada tahun 1990 adalah sebagai bukti dari upaya hukum yang dilakukan oleh pihak Pomparan Raja Ompu Ratus Simangunsong melakukan gugatan atas tanah ulayatnya yang di duduki oleh pihak lain, mengenai Penetapan, itu berbeda dengan putusan, penetapan merupakan produk hukum yang berupa akta autentik dari pengadilan atas sebuah objek yang di mohonkan di muka pengadilan sehingga yang menjadi pihak adalah pemohon.

Jelasnya lagi, bahwa pada surat balasan Pengadilan Negeri Tarutung kepada para penggugat pada tanggal 20 Januari 1998 dikatakan jika para Tergugat dalam Rekonvensinya tidak ada memohon kepemilikan objek terperkara sehingga tidaklah otomatis pemilikan atas tanah terperkara tersebut menjadi hak milik dari salah satu pihak berperkara, dan mengenai penetapan nomor : 47.Pdt.G/1990/PN-Trt yang menetapkan, menentukan bahwa tanah sengketa dalam perkara nomor: 47.Pdt.G/1990/PN-Trt, untuk mengusahainya adalah para Tergugat. Akan tetapi dalam penetapan tersebut tidak menyatakan siapa pihak pemohon atas penetapan tersebut, dan jika yang menjadi pertimbangan dalam penerbitan penetapan tersebut adalah fakta persidangan yang membuktikan bahwa tergugat ada mengusahai tanah terperkara, apakah tanah yang diusahai oleh tergugat untuk seluruhnya dengan luas 27 Hektar? dan apakah penetapan tersebut sudah adil untuk kedua belah pihak yang berperkara? nah, jika memang Pengadilan Negeri Tarutung menginisiasi pihak Tergugat memiliki hak pengusahaan atas tanah, ini akan menjadi polemik karena menimbulkan kesenjangan terhadap pihak Penggugat dan tidak terwujudnya rasa keadilan untuk pihak Penggugat yang sudah melakukan segala upaya mempertahankan tanah leluhurnya, sementara lagi penetapan tersebut tidak pernah ada terdaftar dalam register perkara Pengadilan Negeri Tarutung sesuai dengan surat balasan Pengadilan Negeri Tarutung kepada para Penggugat pada tanggal 17 Juni 1998.

Janner Simangunsong juga menerangkan bahwa di tanah tempat kejadian perkara perusakan bangunan Pomparan Raja Ompu Ratus Simangunsong adalah satu kesatuan dengan objek yang pernah disengketakan pada tahun 1990 dengan Nomor perkara 47.Pdt.G/1990/PN-Trt, Janner Simangunsong juga mangatakan bahwa bangunan yang mereka dirikan tersebut bukan diatas tanah yang sedang diusahai oleh para pelaku perusakan, dan menurutnya lagi bahwa para pelaku perusakan kemungkinan bukan dari pihak yang pernah bersengketa dulunya, Janner Simangunsong juga menambahkan jika memang ada sebuah pelanggaran ketika mereka mendirikan bangunan tersebut, mengapa para pelaku tidak melaporkan perbuatan mereka kepada pihak yang berwajib? dan kenapa harus menghancurkan bangunan yang mereka dirikan dengan cara massal?, sementara para Pomparan Raja Ompu Ratus Simangunsong mendirikan bangunan tersebut di wilayah yang masih menjadi wilayah hukum Desa Hutanamora dan mereka tidak ada mendapat teguran dari Kepala Desa Hutanamora atas kesalahan pemakaian tanah tersebut. Harapan Janner Simangunsong beserta kuasa hukumnya, penegak hukum dalam hal ini Polres Toba, Kejaksaan Negeri Balige dan Pengadilan Negeri Balige tegas dalam memberi tindakan hukum kepada seluruh pelaku perusakan Bangunan Pomparan Raja Ompu Ratus Simangunsong yang terjadi pada tanggal 7 Februari 2022, jika pun ada spanduk-spanduk yang bertuliskan penyataan-pernyataan klaim atas tanah di sekitar tempat kejadian perkara pihaknya merasa tidak ada kaitannya dengan itu, karena perbuatan para pelaku tersebut terbukti melanggar ketentuan Pasal 170 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang mengakibatkan timbulnya kerugian yang diderita oleh Pomparan Raja Ompu Ratus Simangunsong atas bangunan yang dirusak para pelaku dan terjadinya situasi yang tidak kondusif antar masyarakat di wilayah Desa Hutanamora, sehingga mereka meminta Kepastian Hukum atas peristiwa tersebut. (Jhonson)