
Jakarta, aspirasipublik.com – Memahami dan mendalami metodologi penelitian pemerintahan haruslah terlebih dahulu berangkat dari pemahaman seorang penggiat atau pencinta Ilmu Pemerintahan terhadap metodologi ilmu pemerintahan, agar seorang penggiat atau pencinta Ilmu Pemerintahan nantinya dapat menjelaskan bahwa fenomana, gejala, dan peristiwa yang didalami dan diteliti merupakan bagian dari kajian pemerintahan.
Pertanyaan besarnya adalah “Apakah itu Ilmu Pemerintahan?” Menurut Wasistiono dan Simangunsong (2015:63) bahwa Ilmu Pemerintahan adalah ilmu yang mempejari hubungan antara rakyat dengan organisasi tertinggi negara (pemerintah) dalam konteks “kewenangan” dan “pemberian pelayanan publik”.
Jika dihubungkan dengan konsep tentang metodologi ilmu, maka pengertian-pengertian di atas merupakan bagian dari “objek ilmu” yaitu objek formal yang menjelaskan sudut penyorotan atau di dalam konsep metodologi penelitian menjadi “kajian mendalam” dari gejala, peristiwa, fenomena dan masalah yang terkandung dalam sebuah ilmu.
Berangkat dari banyaknya pengertian – pengertian tentang ilmu pemerintahan, maka ilmu pemerintahan semakin berkembang dan dapat menyatakan eksistensi dirinya, sehingga semua penggiat, pencinta dan ilmuwan pemerintahan dapat dengan tegas menyatakan dirinya sebagai “sosok yang cinta dan ahli di bidang ilmu pemerintahan dan TIDAK MUDAH DIGOYANG dan dianggap sebagai ahli ilmu lainnya yang serumpun dengan ilmu pemerintahan”.
Kecintaan terhadap ilmu pemerintahan merupakan sebuah perjalanan panjang dalam berpikir yang diibaratkan seorang laki-laki yang sedang mendekati seorang wanita, dimana terjadi “proses hati dan rasa” yang diawali dengan rasa senang, suka, simpati, sayang, dan cinta terhadap ilmu pemerintahan. Proses hati di atas dapat kita analogikan dengan jenjang pendidikan seseorang dalam mencintai sebuah ilmu yang diibaratkan mencintai seseorang.
Perasaan “senang” seseorang terhadap ilmu (pemerintahan) dapat diukur pada tingkat Diploma III (D-3) dan Diploma IV (D-4), jika perasaan itu berlanjut kejenjang “suka”, maka seseorang akan melanjutkan pendidikannya kejenjang Strata Satu (S1) pada ilmu yang sama, dan jika perasaan itu semakin tumbuh menjadi “simpati”, maka seseorang juga akan melanjutkan pendidikannya ke jenjang Strata Dua (S2) pada ilmu yang sama, serta dipuncak perasaan seseorang terhadap sebuah ilmu dan menyakini bahwa “ilmu itu akan menjadi pegangan hidupnya serta yakin bahwa seseorang dapat hidup dari ilmu tersebut” maka dipastikan perasaan seseorang tersebut akan masuk kejenjang “sayang” apabila sudah memutuskan diri masuk ke jenjang pendidikan Strata Tiga (S3) pada ilmu yang sama.
Secara khusus dalam Ilmu Pemerintahan, dapat dijelaskan bahwa “Penelitian Pemerintahan” adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji gejala, peristiwa, fenomena dan dinamika pemerintahan guna menciptakan kebenaran ilmu pemerintahan dalam konteks “KEWENANGAN DAN PELAYANAN PUBLIK” secara “Koherensi, Korespondensi Dan Pragmatis” yang berangkat dari pemikiran yang sistematis dengan “Kekuatan Teoritik, Legalistik, Empirik Dan Inovatif”.
Jika melihat pengertian “Penelitian Pemerintahan” di atas maka dapat dijelaskan bahwa seorang mahasiswa, peneliti, dan penggiat ilmu pemerintahan harus memahami bahwa semua penelitian pemerintahan harus memiliki unsur:
1.Penelitian pemerintahan tidak lepas dari konteks “Kewenangan Dan Pelayanan Publik”, dimana Kewenangan yang dikaji dan dikembangkan adalah Kewenangan Pemerintahan Pusat, Kewenangan Pemerintahan Provinsi, Kewenangan Pemerintahan Kabupaten dan Kota, Kewenangan di Level Kecamatan, Kewenangan di Level Kelurahan, Kewenangan di Level Desa dan Kewenangan Lembaga Kemasyarakatan Desa/Kelurahan yang dilihat dari 3 P + 1 D yaitu Kewenangan Mengelola Personil, Kewenangan Mengelola Peralatan, Kewenangan Mengelola Pembiayaan yang dibungkus dalam 1 Dokumentasi yang dikembangkan melalui azas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Medebewind).
Konteks Pelayanan Publik Pemerintahan akan dikembangkan hingga mencapai “Generasi kelima”, yang diikuti dengan perkembangan “generasi manajemen hingga generasi kelima”, perkembangan “generasi organisasi hingga pada generasi kelima” dan juga perkembangan “generasi manajemen sumber daya aparatur yang juga sudah pada generasi kelima”.
2.Penelitian pemerintahan harus menampilkan kebenaran ilmu pemerintahan baik secara Koherensi (merujuk kepada sesuatu yang sudah dianggap benar), Korespondensi (merujuk kepada fakta, data dan informasi) dan Pragmatis (merujuk kepada kegunaan).
3.Penelitian pemerintahan memiliki 4 (empat) kekuatan berpikir yaitu kuat dalam teoritik, kuat dalam legalistik, kuat secara empirik dan kuat dalam Inovatif
Ketiga unsur di atas menjadi batu penjuru yang “membedakan penelitian pemerintahan dengan penelitian lainnya” dan juga dapat membedakan seorang mahasiswa, peneliti, dan penggiat ilmu pemerintahan dengan yang lainnya. Jika melihat ketiga unsur di atas kelihatannya sangat sederhana dan tidak berbeda dengan metode penelitian ilmu lainnya, tetapi penjelasan di atas akan menjadi bahan dasar untuk menjelaskan “kekuatan dari ilmu pemerintahan”, terkhusus untuk kekuatan berpikir Ilmu Pemerintahan secara legalistik, karena “kekuatan berpikir legalistik” inilah yang menjadi unsur pembeda antara penelitian pemerintahan dengan penelitian lainnya, sehingga dapat di jelaskan bahwa “tidak semua masalah – masalah pemerintahan dapat dijawab dengan metode penelitian sosial, namun harus dijawab dengan metode penelitian pemerintahan”.
Artinya selama ini dalam memecahkan setiap masalah pemerintahan hanyalah dengan metode penelitian sosial yang senantiasa menekankan kepada “kekuatan berpikir teoritik” dalam membelah sebuah masalah (pisau analisis).
Pertanyaannya “Bagaimanakah ukuran jenjang perasaan CINTA seseorang terhadap ilmu?” Perasaan cinta itu dapat terjawab apabila seseorang yang cinta ilmu sudah menjadi ilmuwan yang paripurna (hingga menjadi Guru Besar) yang “terus mengabdi, berbagi dan melakukan kaderisasi” terhadap ilmu tersebut.
Namun kelima rasa tersebut terkadang dipenuhi dengan rasa “cemburu” agar kita semakin kuat untuk tetap mencintai ilmu kita dengan melihat hubungan cinta dari ilmu lain sehingga menguatkan diri untuk menghadirkan banyak karya tentang pemerintahan baik dalam bentuk “buku dan juga jurnal”.
Kekuatan cinta seseorang dapat teruji pada saat seseorang cemburu terhadap yang dicintai, begitu juga dengan para pakar ilmu pemerintahan yang juga “merasa cemburu” terhadap ilmu-ilmu lain, dimana ilmu-ilmu tersebut telah “berevolusi dengan sempurna” baik secara “Metodologi Ilmu” maupun “Metodologi Penelitian” dan melahirkan “Ilmu – Ilmu Cangkokan Yang Baru” yang merupakan Gabungan dari Denominasi Ilmu Pemerintahan dengan Ilmu Lainnya.
Besarnya gelombang perubahan yang terjadi saat ini, seharusnya juga diikuti oleh pengembangan pendidikan yang ada di Indonesia dengan dimulai merubah paradigma penulisan “TUGAS AKHIR” baik Laporan Akhir, Skripsi, Thesis, dan Disertasi para peserta didik yang ada di Indonesia termasuk pada pengembangan Ilmu Pemerintahan, yang mana selama ini “statement” di cover depan Laporan Akhir, Skripsi, Thesis, dan Disertasi semua mahasiswa Indonesia hanyalah sekedar untuk mendapatkan GELAR saja, namun sebaiknya dalam menghadapi dinamika pemerintahan menuju pemerintahan kelas dunia atau “World Class Government”, sudah saatnya produk pendidikan di Indonesia termasuk Pendidikan Ilmu Pemerintahan harus mulai untuk mau merubah kalimat “statement” di cover depan tersebut dengan menyebutkan bahwa tugas akhir yang disusun mahasiswa sebagai syarat kelulusan baik itu laporan akhir, skripsi, thesis, dan disertasi yang ditulis oleh mahasiswa adalah “untuk memenuhi KOMPETENSI pada gelar akademik (sarjana, magister, dan doktor)” artinya hasil tugas akhir baik itu laporan akhir, skripsi, thesis, dan disertasi akan menunjukkan keahlian seseorang atau gambaran kompetensi yang terus dikembangkan guna menghadapi “Agile Governance” yang merupakan bagian dari pengembangan Ilmu Pemerintahan di masa yang akan datang. Secara Pragmatis, kita harus yakin bahwa “kita bisa hidup dengan Ilmu Pemerintahan”, seperti Dokter hidup dengan Ilmu Kedokterannya, Insinyur hidup dengan Ilmu Tekniknya.
Ada 516 Kabupaten/Kota di Seluruh Indonesia, dan ada 34 Provinsi yang harus kita layani sebagai pakar pemerintahan. Jika 1 (satu) tahun itu 365 hari, dan kita diminta menjadi konsultan pemerintahan yang “kuat secara teoritik, legalistik, empirik dan inovatif”, pertanyaannya, Apakah 516 Kabupaten/Kota dan 34 provinsi itu sanggup dan habis kita layani semua dalam satu tahun? Bagaimana pula kalau kita pakar pemerintahan diminta menjadi tenaga ahli atau konsultan untuk membantu permasalahan di Pemerintahan Pusat? Akademisi Ilmu Pemerintahan harus mulai paham dan meresapi secara mendalam apa itu Filosofi “Point” dan “Koin”? atau di satu sisi kita diminta menjadi tenaga ahli atau konsultan untuk kurang lebih 8.000 Kecamatan dan kurang lebih 79.000 Desa? semoga ini menjadi perenungan dan batu penjuru bagi kawan-kawan agar mulai “on the track” untuk tetap setia dan selalu setia dalam mendalami jati diri Ilmu Pemerintahan sebagai bentuk Penyataan tegas kita dalam “menegakkan Ontologi Ilmu Pemerintahan”. (Oberlin Sinaga, SH., SE., MM Pimpinan Redaksi Aspirasi Publik Mahasiswa Doktoral IPDN dan Dr Joko Susilo Raharjo Watimena S. PdI., MM. Wartawan media Aspirasi Publik Dosen STIPAN Abdi Negara) hadir dalam acara webinar tersebut dan banyak Doktor Ilmu Pemerintahan yang ikut hadir dalam webinar mazab TIMOHO GOVERNMENT MAKING tanggal 22 juli 2021.
Kehidupan ilmu pemerintahan bagaikan kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau. Mengapa?
1.Ilmu pemerintahan kekurangan “konsep dan teori” sebagai alat analisis, sehingga kurang menjelaskan gejala dan peristiwa aktual pemerintahan. Dalam pengembangan ilmu pemerintahan, beberapa ahli menentang penelitian pemerintahan dengan menggunakan pendekatan ”studi kemungkinan”, namun jika melihat fungsi ilmu yang keempat, perlu kiranya sebuah ilmu memiliki ”fungsi prediksi (prediction)”, agar ilmu tersebut dapat memberikan nilai guna dan menjadi lebih fungsional
2.Ilmu pemerintahan kekurangan pendukung dan peminat yang memiliki kepedulian untuk mengembangkan “ilmu dan kemahiran” pemerintahan, sebab sebagian besar pendukungnya berada di lingkungan birokrasi yang terbelenggu oleh kultur yang tidak dinamis.
3.Praktisi-praktisi Ilmu pemerintahan khususnya birokrasi sebagai pengguna ilmu pemerintahan “tidak memiliki tradisi menulis”, sehingga berbagai fakta empirik menjadi tidak bermakna. Berbeda dengan “praktisi manajemen bisnis” yang banyak menjadi penulis buku berbobot dengan mengemas pengalamannya dalam karya ilmiah.
4.Banyak ilmuwan lain, terutama dari ilmu politik yang masih meragukan “eksistensi ilmu pemerintahan”. Mereka masih menganggap Ilmu Pemerintahan hanya sekedar cabang dari ilmu politik dan Ilmu Administrasi Negara mengganggap Ilmu Pemerintahan sebagai saudara kembar yang sejalan dalam perlombaan mengembangkan pengaruh antara “Aliran eropah kontinental” dan “Aliran Anglosaxion”.
5.Ahli-ahli di bidang ilmu pemerintahan kurang mendapat “penghargaan dalam pengembangan kariernya”. Banyak jabatan di pemerintahan yang memerlukan keahlian ilmu pemerintahan saat ini diisi oleh berbagai disiplin ilmu lainnya, tanpa memperhatikan “kompetensinya”.
Bagaimana cara mengembangkannya?
1.Memfasilitasi pembentukan “asosiasi yang bergerak di bidang ilmu dan kemahiran” pemerintahan yang berwibawa.
2.Menerbitkan “jurnal ilmiah” secara periodik.
3.Memfasilitas “penelitian bidang pemerintahan”, sehingga tercipta berbagai teori baru. Melalui alat analisis yang baru, ilmu pemerintahan harus mampu menggambarkan, menjelaskan, memverifikasi serta memprediksi gejala dan peristiwa pemerintahan masa kini, saat ini dan masa yang akan datang, sehingga keberadaannya makin fungsional bagi masyarakat umumnya, dan komunitas pemerintahan khususnya.
4.Mengadakan “seminar” secara berkala dan merata.
5.Memberikan “bantuan biaya” bagi pengembangan ilmu pemerintahan kepada birokrat maupun ilmuwan yang memiliki talenta dan perhatian pada ilmu pemerintahan.
Mari kita samakan presepsi untuk “Penelitian Pemerintahan” adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji gejala, peristiwa, fenomena dan dinamika pemerintahan guna menciptakan kebenaran ilmu pemerintahan dalam konteks “KEWENANGAN DAN PELAYANAN PUBLIK” secara “Koherensi, Korespondensi Dan Pragmatis” yang berangkat dari pemikiran yang sistematis dengan “Kekuatan Teoritik, Legalistik, Empirik Dan Inovatif”. Guna mewujudkan Indonesia menjadi negara maju berdasarkan idiologi Pancasila dan UUD 1945 Menuju pemerintahan kelas Dunia.Sukses untuk penyelenggara webinar dan harus sering dilaksanakan webinar seperti ini agar ilmu pemerintahan semakin berkembang dan menjadi ilmu tersendiri menemukan jati dirinya (Oberlian sinaga & JSRW)