
Lombok Barat, aspirasipublik.com – Demokrasi dalam konteks pemilihan Kepala Desa (Pikades) dapat dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik partisipasif dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa, Dalam Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pilkades pada pasal 2 dan 3 disebutkan (2) pemilihan Kepala Desa dilakukan secara serentak satu kali atau dapat bergelombang; (3) Pemilihan Kepala Desa satu kali se bagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilaksanakan pada hari yang sama diseluruh desa pada wilayah Kabupaten/Kota.
Dengan penjelasan sebagaimana tersebut maka pelaksanaan pemilihan kepala desa dilaksanakan secara serentak, arti serentak adalah dilaksanakan pada hari yang bersamaan diseluruh wilayah Kabupaten/Kota, selain itu pemilihan kepala desa juga bisa dilaksanakan secara bergelombang.
Dengan adanya aturan tersebut, semakin memperkuat semangat untuk menerapkan demokratisasi diseluruh wilayah di Indonesia dan juga semangat dalam penyempurnaan otonomi daerah.
Berkaitan dengan Kepala Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana yang tertuang pada Pasal 31 telah mengamanatkan untuk melaksanakan Pemilihan Kepala Desa secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota. Perintah pemilihan kepala desa secara serentak tersebut diperjelas dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Desa dan terakhir melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017 tentang perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Desa. Panitia pemilihan Kepala Desa melaksanakan penjaringan dan penyaringan Bakal Calon Kepala Desa sesuai persyaratan.
Calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan ditetapkan sebagai Calon Kepala Desa oleh Panitia Pemilihan. Secara historis pemilihan kepala desa telah berjalan lama dan bersifat langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil telah dipahami sebagai pengakuan terhadap keanekaragaman sikap politik partisipasi masyarakat dalam demokratisasi di tingkat desa.
Timbulnya Konflik Pemilihan Kepala Desa yang berkepanjangan merupakan dampaknya fanatisme dan kerasnya konfrontasi pendukung calon kepala desa yang secara tatap muka saling memperjuangkan kemenangan calon masing-masing. Bahkan kadang telah melupakan nilai-nilai demokrasi dan lunturnya nilai-nilai etika yang selama ini tertanam dan mengakar ditengah kehidupan masyarakat desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa disebutkan bahwa “pemilihan Kepala Desa merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat di desa dalam rangka memilih kepala desa yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Hal ini diterapkan sebagai antisipasi dalam menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa tersebut.
Kendatipun sudah diatur dengan baik melalui berbagai peraturan seperti Undang-Undangan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Dalam Negeri, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Kabupaten/Kota namun dalam kebijakan Pemilihan Kepala Desa Serentak di berbagai Kabupaten dan Kota di Indonesia tersebut masih ditemukan berbagai permasalahan Permasalahan tersebut antara lain:
- Politik Uang
Penyelenggaraan pemilihan kepala desa (Pilkades) selama ini yang telah dilaksanakan di beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia, dinilai sangat melenceng dan mengotori proses demokrasi, mulai dari politik uang yang dilakukan oleh calon itu sendiri, Tim sukses, dan masyarakat sendiri. Lemahnya regulasi dan penegakan hukum di Indonesia, menjadi salah satu penyebab terjadinya praktek tersebut sekaligus belum memberikan efek jera bagi pelaku politik uang.
- Intimidasi
Biasanya praktek intimidasi dilakukan oleh Kades Incamben seperti dengan cara memobilisasi masyarakat dan atau karyawan perusahaan swasta yang ada di desa itu, untuk mendukung calon kades tertentu dalam Pilkades serentak. Intimidasi dimungkinkan dilakukan oleh semua calon kades dengan tujuan untuk menekan masyarakat atau panitia pemilihan kepala Desa maupun para pihak yang terlibat dalam pemilihan kepala Desa. Akibatnya banyak masyarakat yang resah, dan juga bisa terjadi gesekan antar pendukung hingga berujung bentrokan fisik.
- Kampanye Hitam
Kampanye hitam (black campaign) dalam pemilihan kepala desa (Pilkades) dengan tujuan untuk menjatuhkan salah satu calon atau lawan calon Kepala Desa “Akibat dari adanya kampanye hitam yang dilakukan oleh calon tertentu membuat masyarakat gelisah dan khawatirkan terjadi gesekan antar pendukung hingga berujung bentrokan fisik“.Kampanye-kampanye melakukan kampanye hitam menjelek-jelekan masing-masing calon yang dilakukan oleh masing-masing tim sukses memicu keributan antar tim sukses yang mana nyaris berdampak bentrokan fisik,pihak ketiga yang sengaja mengeruhkan suasana menjelang pemilihan Kepala Desa.
- Pendanaan Pilkades belum memadai
Dana dari APBDes memang diperbolehkan untuk pelaksanaan Pilkades tetapi ada batasan-batasan dalam penggunaan dananya. Sumber pendanaan Pilkades dari APBDes dan dari APBD namun peruntukannya berbeda.
- Konflik Sosial
Salah satu ekses dari perbedaan pilihan dalam Pemilihan Kepala Desa menyebabkan terjadinya konflik keluarga, konflik tersebut bisa terjadi antara lain suami dengan istri, orang tua dengan anak, antara mertua dan menantu, antara pendukung serta antara tetangga. Hal di atas menunjukkan masih diperlukannya sosialisasi tentang hidup berdemokrasi.
Berdasarkan penjelasan sebagaimana tersebut diatas bahwa proses penyelenggaran Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak mulai tahap persiapan, pencalonan, pelaksanaan dan penetapan calon pemenang masih terdapat berbagai permasalahan yang harus segera diperbaiki guna terciptanya proses Pemilihan Kepala Desa serentak yang partisipatif, transparan dan akuntabel guna mempercepat terwujudnya tata kelola pemerintahan desa yang baik (good Governence) sebagaimana yang diharapan. Permasalahan yang terjadi di Indonesia tekait pemilihan kepala desa menurut saya Dr. Joko Susilo Raharjo Watimena, S.PdI.,MM .Sebagai Doktor Ilmu Pemerintahan dan Wartawan Aspirasi Publik. Ada 3 (tiga) permasalah yang saya amati yaitu sebagai berikut:
1.Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak akurat dan konflik sosial dikategorikan sebagai permasalahan yang berkaitan dengan partisipasif, bahwa salah satu indikator partisipatif adalah terjadinya perubahan sikap masyarakat menjadi lebih peduli terhadap setiap langkah yang dilakukan oleh pemerintah termasuk pemerintah desa.
Dengan adanya masalah konflik sosial dan Intimidasi tersebut, masyarakat akan bersikap antipati dan tidak perduli terhadap kondisi dan situasi yang terjadi, serta akan menimbulkan situasi yang tidak kondusif. Keadaan tersebut akan berdampak terhadap rendahnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Desa serentak untuk menyalurkan aspirasinya sesuai dengan pilihannya.
2.Politik uang (money politics) dan Alokasi Dana Desa (ADD) menjadi biaya pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa dikategorikan sebagai permasalahan yang berkaitan dengan transparansi, Masyarakat saat ini sudah cerdas dan bijak, uang yang dibagi-bagikan oleh calon Kepala Desa dan tim suksesnya kepada masyarakat sudah barang tentu harus kembali atau diganti, sementara gaji Kepala Desa setiap bulannya tidak banyak sementara uang yang harus kembali kepada Kepala Desa jauh lebih besar. Kalau dari dari gaji saja tidak cukup tentu akan mengambil dengan cara-cara yang tidak benar, contohnya dari pungli dan korupsi. Hal ini akan menimbulkan tersumbatnya informasi yang berkaitan dengan kondisi keuangan Desa dan pertanggungjawaban uang tersebut kepada masyarakat.
3.Panitia pelaksana Pemilihan Kepala Desa tidak independen dikategorikan sebagai permasalahan yang berkaiatan dengan akibat tidak adanya keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam memverifikasi DPT, Keterpihakan panitia kepada salah satu calon, akan menyebabkan jumlah suara berbeda dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT), bahwa salah satu indikator dari akuntabilitas adalah adanya kesesuaian antara pelaksanaan dengan standar prosedur. Panitia pemilihan Kepala Desa berpihak kepada salah satu calon dan DPT tidak akurat merupakan tindakan yang menyalahi peraturan dan ketentuan yang berlaku terkait pemilihan Kepala Desa serentak. Kepala Desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa, pemberdayaan masyarakat desa, pelaksanaan pembangunan masyarakat Desa, dan pembinaan kemasyarakatan Desa harus berdasarkan asas antara lain partisipatif, transparan dan akuntabel.
Hal tersebut diatas terkait dengan pemilihan kepala desa di Lombok barat Tahun 2021 khususnya di desa jembatan kembar timur yang bermasalah terkait pencalonan kepala desa. Panitia Pemilihan Kepala Desa pada sejumlah desa di Lombok Barat menggelar tes membaca Alquran bagi kandidat bakal calon Kepala Desa (Kades). Tes baca Alquran tersebut dilakukan sebagai salah satu syarat penetapan sebagai calon kepala desa sesuai Peraturan Bupati Lombok Barat nomor Perda no 1 tahun 2016 pasal 39 huruf b persyaratan bakal calon kepala desa terkait pembuktian syarat bertakwa kepada tuhan yme adalah dengan surat pernyataan bermaterai dan kemampuan membaca kitab suci, tetapi pada periksa pembaruan No. 10 Tahun 2018 sudah di hapus, Perda 20 Tahun 2021 yang terbaru. Pada pasal 24 poin b. Bertagwa kepada Tuhan yang maha Esa dan mampu membaca kitab suci sesuai dengan agama masing masing.
Bahwa berdasarkan peraturan-peraturan Perundang – undangan tersebut diatas LALU MUJITABE sudah memenuhi semua syarat-syarat yang di tentukan oleh peraturan perundang-undangan tersebut yang berkaitan dengan mekanisme pemilihan Kepala Desa dan syarat – syarat untuk menjadi calon Kepala Desa sudah terpenuhi semua, namun Panitia Pemilihan Kepala Desa Jembatan Kembar Timur Kecamatan Lembar Kabupaten Lombok Barat menyatakan bahwa LALU MUJITABE tidak memenuhi syarat dan panitia tidak dapat membuktikan secara transparan apa yang menjadi penyebabnya ,Karena merasa dirugikan oleh panitia maka yang bersangkutan secara lisan dan tertulis mengadukan ke panitia kecamatan dan kabupaten Lombok barat dalam hal ini di dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Lombok Barat yang akhirnya dilakukan musyawarah dimana Dinas terkait memerintahkan kepada Panitia Pemilihan Kepala Desa Jembatan Kembar Timur untuk melakukan uji/Tes ulang kemampuan membaca Kitab Suci Al-Qur’an terhadap bakal calon yang bersangkutan untuk memastikan kembali apakah bakal calon yang bersangkutan mampu atau tidak mampu membaca Kitab Suci Al-Qur’an.tetapi saran dan hasil musyawarah dengan (DPMD) tersebut tidak dilaksanakan oleh panitia, ini telah melanggar atau mencidrai proses pemilihan Kepala Desa tersebut dengan hanya mengedepankan kepentingan sepihak atau pribadi panitia atau pun kelompok dan ini berarti pemilihan bakal calon kepala Desa Jembatan Kembar Timur Kecamatan Lembar Kabupaten Lombok Barat harus dilakukan seleksi ulang dan dibentuk kepanitiaan yang baru karena panitia dianggap tidak mampu bekerja dan cacat demi hukum.
karena tidak menjalankan dan melaksanakan saran dari (DPMD) Kabupaten Lombok Barat untuk melakukan tes ulang membaca Al Quran.
Karena permaslahan ini tidak dapat diselesaikan secara musyawarah oleh panitia desa, kecamatan dan kabupaten Lombok barat maka LALU MUJITABE meminta bantuan kuasa hukum mengajukan gugatan ke PTUN, di Kantor ADVOKAT LALU ANTON HARIAWAN, S.H & PARTNERS, berkedudukan di Jln. Raya Gerung Penas Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus No: 19/SK/ADV.LAH/P/VII/2021, tertanggal 10 Juli 2021, Lalu Anton Heriawan, menjelaskan, kliennya mengajukan gugatan ke PTUN karena merasa dirugikan setelah menerima dan membaca semua surat yang diterbitkan oleh Panitia Pilkades Jakem Timur yang menyatakan kliennya tidak lulus tes membaca kitab suci. ”Hari ini sudah resmi surat gugatan masuk ke PTUN,” terang Anton.
Pemerintah dalam hal ini Bupati Lombok Barat harus segera mengambil Langkah agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat desa jembatan kembar timur dan segera membentuk panitia baru dalam proses pemilihan ulang calon kepala desa tersebut.
Sesuai Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan (D. F. Watimena)