
Foto: Dr. Muhadam Lalobo
Oleh: Muhadam
Sejauh ini isu Papua dapat diklasifikasi pada dua hal pokok. Pertama, lemahnya diplomasi. Kedua ketiadaan roadmap rekonsiliasi internal termasuk bagaimana metode merealisasikannya. Kedua sebab itu kita sebut saja faktor eksternal dan internal yang mesti dibenahi.
Masalah pertama setidaknya dapat dideteksi lewat keaktifan organisasi Papua dalam menggalang dukungan diberbagai kesempatan berskala global. Ini soal bagaimana keseriusan kita dalam merespon setiap letupan dalam kerangka politik luar negeri. Sejauh ini publik tak banyak paham soal perkembangan Papua pasca kebijakan asimetrik kecuali aksi heroik diplomat muda yang sedang magang di PBB.
Sejauh yang dapat ditangkap, menyebut freeport sama dengan membayangkan konsesi atas kontrak-kontrak mineral sebagai alat tukar untuk meredam tekanan politik dalam relasi pergaulan international. Namun sampai kapan konsesi semacam itu dapat dipertahankan di tengah penemuan energi alternatif dan perubahan geopolitik.
Pertanyaan lebih jauh misalnya, apakah Amerika, Belanda & Australia tetap konsisten di tengah relaksasi kontrak energi yang kian mengecualikan eksistensi mereka yang tak berdampak mutualistik? Sebagian memprediksi hingga titik tertentu dengan sendirinya negara-negara itu akan melepaskan diri seraya membangun konsensus baru lewat sirkulasi elit di setiap rezim. Indikasinya partai-partai konservatif sering menjadikan isu Papua sebagai komoditas politik.
Kedua, pada skala domestik, sejauhmana peta rekonsiliasi pemerintah di desain dan diterima secara meyakinkan di Tanah Papua. Peta rekonsiliasi itu setidaknya menguatkan kembali kedalaman socio-cultural nya, kanalisasi politiknya, serta bagaimana kesejahteraan ekonomi dapat dirasakan dan diukur pada jarak ketertinggalan dengan wilayah lain.
Sebetulnya, ketiga aspek yang saya sebutkan di atas sedikit banyak tergambar dalam kebijakan otsus. Masalahnya, upaya mewujudkan semua itu terlihat ibarat tuangan air di dalam gelas. Boleh jadi tak cukup untuk diminum, terbuang percuma, atau bahkan bocor karena berbagai sebab. Kita mesti mendesain ulang kearah mana pembangunan kultural, ekonomi dan politik yang benar-benar diharapkan masyarakat Papua, bukan semata-mata harapan pemerintah.
Dalam perspektif politik, mempertahankan eksistensi MRP atau memekarkan wilayah Papua lewat kebijakan otsus baru satu aspek. Perlu diurai lebih detil bagaimana peta ekonomi dan socio-cultural nya. Selebihnya perlu diupayakan sisi antropologiknya, agar perasaan sebagai bagian dari warga bangsa dapat diterima sebagai wujud kemerdekaan sejati, bukan merdeka dalam makna lain.
Pada saat yang sama, bagaimana menata kembali pendekatan keamanan dan pertahanan di Papua. Pertanyaan yang perlu dicari jalan keluarnya secara hati-hati adalah, apakah peta pendekatan prosperity sebagai agenda roadmap relevan dengan pendekatan security? Masalahnya, membiarkan Tanah Papua dari pendekatan itu bukan tanpa masalah. Potensi konflik antar suku, agama, ras, dan golongan menjadi ancaman setiap waktu.
Tantangan lain bahwa ruang Papua kini terbuka oleh pewarta dari belahan dunia lain. Itu baik sebagai refleksi atas kejujuran kita tentang perkembangan Papua yang terus dimajukan. Tapi sadar atau tidak seperti pisau bermata dua. Kebebasan atas pengabaran yang tak dapat dikendalikan dapat menjadi ancaman tersendiri bagi masa negara. Ini penting menjadi catatan pinggir di tengah gejolak politik diberbagai negara akibat meluapnya informasi melalui kecanggihan teknologi.