Oleh: Prof. Dr. H. Ermaya Suradinata, SH. MH. MS.
Presiden Joko Widodo, Presiden ke-7 Republik Indonesia, pada 2015 telah mencanangkan pentingnya Badan Pembinaan ldeologi Pancasila (BPIP) yang sebelumnya telah digagas sejak masa Presiden ke- 5, Megawati Soekarnoputri yang diharapkan dapat menyosialisasikan kesadaran setiap warga negara Indonesia untuk memahami, mengerti, dan melaksanakan kehidupan yang bersumber dari Pancasila. Buku yang berjudul PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA DAN KARAKTER BANGSA DALAM KEHIDUPAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA karangan Prof. Dr. H. Ermaya Suradinata, SH. MH. MS. dapat terselesaikan yang berisi lima pokok kajian, yakni Bhinneka Tunggal lka, Demokrasi, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Karakter Bangsa Indonesia.

Pertama, kemajemukan (kebinekaan) merupakan modal yang dimiliki Indonesia sejak sebelum Negara ini terbentuk. Modal itu pulalah yang mengantar kemerdekaan Indonesia, terbentuknya _konstitusi, sampai perjalanan Negara Indonesia dalam kancah global. Kebinekaan Indonesia merupakan potensi besar yang menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar. Sebaliknya, kemajemukan pula sangat rentan dijadikan pihak-pihak tertentu yang menginginkan Indonesia tidak berkembang menjadi bangsa besar. Materi ini menghantarkan kesadaran kita akan pentingnyastrategi menjadikan kebinekaan Indonesia sebagai potensiatau modal dasar pembangunan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masa kini dan mendatang.
Kedua, demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dilaksanakan atas dasar nilai nilai Pancasila dan UUD 1945. Sila keempat Pancasila merupakan nilai dasar demokrasi di Indonesia. Nilai nilai demokrasi tidak saja dapat diterapkan dalam kehidupan politik, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat di bidang sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan budaya. Materi ini akan mengajarkan bagaimana nilai-nilai demokrasi dapat dipahami secara utuh agar mampu mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagai warga negara yang baik.
Ketiga, Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia yang ditetapkan oleh para pendiri bangsa sejak melepaskan diri dari penjajahan/kolonial. Dalam fungsinya sebagai dasar negara, Pancasila merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Republik Indonesia, termasuk seluruh unsur-unsurnya, yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat.
Keempat, negara yang kokoh adalah negara yang memiliki konstitusi yang kuat. Kekuatan konstitusi adalah di Iihat dari segi penerapannya dalam kehidupan bernegara. Negara Republik Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi bangsa yang perlu dipahami secara komprehensif oleh seluruh warga negara. Materi ini perlu untuk meningkatkan wawasan kebangsaan, mengkaji proses pembentukan dan nilai yang terkandung dalam UUD 1945.
Kelima, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati bagi bangsa Indonesia. Tidak boleh sejengkal pun tanah air Indonesia dicaplok oleh bangsa lain. Sebagai bangsa yang berdaulat, bangsa Indonesia wajib menjaga keutuhan NKRI,karena ia diperjuangkan dengan pengorbanan panjang tanpa mengenal lelah. Cinta tanah air Indonesia tidak lain adalah ekspresi rasa dan sikap nasionalisme yang harus tetap dipelihara, sehingga eksistensi NKRI akan tetap terjaga. Saya Dr. Joko Susilo Raharjo Watimena, S. Pdi. MM. wartawan Media Aspirasi Publik yang banyak mendapatkan ilmu dari Prof. Dr. H. Ermaya Suradinata, SH. MH. MS. Setelah diberikan buku baru beliau ini terpanggil untuk mempublikasikan karena isi buku ini sangat penting untuk semua kalangan terutama untuk para generasi muda, Mahasiswa/i, kalangan Dosen dan juga bisa dijadikan pedoman untuk BPIP (Badan Pembinaan ldeologi Pancasila). Saya ambil dari salah satu BAB terkait WAWASAN POKOK TIAP-TIAP SILA DALAM PANCASILA

Manusia sebagai makhlukTuhan untuk merealisasikan nilai-nilai agama yang hakikatnya berupa nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu negara adalah suatu lembaga kemanusiaan suatu lembaga kemasyarakatan yang anggota-anggotanya terdiri atas manusia, diadakan oleh manusia untuk manusia, bertujuan untuk melindungi dan menyejahterakan manusia sebagai warganya. Maka negara berkewajiban untuk merealisasikan kebaikan, kebenaran, kesejahteraan, keadilan perdamaian untuk seluruh warganya. Hubungan antara negara dengan landasan sila pertama adalah berupa hubungan yang bersifat mutlak dan tidak langsung. Hal ini sesuai dengan asal mula bahan Pancasila, yaitu berupa nilai-nilai agama, nilai-nilai kebudayaan, yang telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala yang konsekuensinya harus direalisasikan dalam setiap aspek penyelenggaraan negara. Singkatnya dengan sangat jelas hubungan negara dengan sila pertama adalah tentang keberadaan dan eksistensi. Karena hanya dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa-lah maka Negara Indonesia ada, dengan demikian ini menandakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang beragama, yang saling mienghormati kepercayaan setiap pemeluknya dengan jiwa toleransi yang sepadan dengan pendekatan pada sila pertama ini.
SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah bahwa bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara umum, inti sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah kesesuaian sifat-sifat dan hakikat negara dengan hakikat Tuhan. Kesesuaian itu dalam arti kesesuaian sebab-akibat. Maka dalam segala aspek penyelenggaraan Negara Indonesia harus sesuai dengan hakikat nila-nilai yang berasal dari Tuhan, yaitu nila-nilai agama. Umum diketahui, pendukung pokok dalam penyelenggaraan negara adalah manusia, sedangkan hakikat kedudukan kodrat manusia adalah sebagai makhluk yang berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan. Dalam pengertian ini hubungan antara manusia dengan Tuhan juga memiliki hubungan sebab-akibat. Tuhan adalah sebagai sebab yang pertama atau kausa prima, maka segala sesuatu termasuk manusia adalah merupakan ciptaan Tuhan. Hubungan manusia dengan Tuhan, yang menyangkut segala sesuatu yang berkaitan dengan kewajiban manusia sebagai makhluk Tuhan terkandung dalam nilai-nilai agama. Maka menjadi suatu kewajiban.
SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
Sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” hakikatnya manusia Indonesia harus diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama haknya dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membedabedakan suku, keturunan, agama, dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.’ Karena itu dikembangkanlah sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa serta sikap tidak diskriminatif terhadap orang lain. “Kemanusiaan yang adil dan beradab” berarti menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan berani membela kebenaran dan keadilan. Manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain. Kemanusiaan atau peri kemanusiaan merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap insan manusia, sehingga pada dasarnya manusia itu sama di mana setiap manusia memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang sama secara universal. Sila ini dengan tegasnya mengandung makna bahwa keadilan itu milik semua insan, perbedaan suku, RAS, bahkan Agama haruslah menjadi kekuatan tentang adanya bangsa ini bukan sebaliknya, karena pada dasarnya setiap manusia itu memiliki persamaan derajat dan hak yang sama.
SILA PERSATUAN INDONESIA
Sila “Persatuan Indonesia” memiliki makna bahwa manusia ‘Indonesia harus hidup menjaga persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Menempatkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi, berarti manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa, bi la diperlukan. Secara lebih luas sikap rela berkorban untuk kepentingan negara dan Bangsa dapat dikembangkan ke dalam sikap kemanusiaan. Lebih luas lagi, yakni dalam bingkai ikutmemelihara ketertiban duniayangberdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Namun demikian persatuan harus dikembangkan tidak bertentangan dengan kodrat Indonesia yang majemuk. Dalam konteks ini persatuan dikembangkan dalam koridor tidak memasung kemajemukan Indonesia sebagaimana tertuang dalam seloka pada Pancasila “Bhinneka Tunggal lka”, yang pengertiannya adalah “kesatuan dalam keragaman Indonesia”, bukan “penyeragaman dalam/ demi kesatuan”. Diktum terakhir selain melawan takdir kemajemukan Tuhan atas kehidupan, ia juga berpotensi membelenggu potensi dinamis yang ada pada manusia yang selalu berubah dan berkembang. lnilah semangat yang harus dijunjung oleh segenap manusia Indonesia dan penyelenggara negara.
SILA KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN
Secara umum, manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Dalam menggunakan hak-haknya ia menyadari perlunya selalu memperhatikan dan mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Karena mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama, maka pada dasarnya tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain. Sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu diadakan musyawarah. Keputusan diusahakan sekuat tenaga dihasilkan melalui kemufakatan. Musyawarah untuk mencapai mufakat ini, diliputi oleh semangat kekeluargaan, yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
Manusia Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah, karena semua pihak yang bersangkutan harus menerimanya dan melaksanakannya dengan baik dan tanggung jawab. Disini kepentingan bersamalah yang diutamakan di atas kepentingan pribadi dan golongan. Pembinaan dalam musyawarah. Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan hidup bersama. Kaitannya dengan sila keempat lnl, maka segala aspek penyelenggaraan negara harus sesuai dengan sifat-sifat dan Hakikat rakyat, yang merupakan suatu keseluruhan penjumlahan semua warga negara, yaitu Negara Indonesia. Maka dalam penyelenggaraan negara bukanlah terletak pada monopoli satu orang atau sebuah kelompok mayoritas yang menentukan nasib kelompok lain atau kelompok minoritas. Sebaliknya, kebijakan negara harus diputuskan secara rasional di mana semua komponen masyarakat (di parlemen melalui wakil-wakil rakyat) terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara demokratis, partisipatoris, dan sejajar yang bersendikan semangat gotong royong atau permufakatan (demokrasi deliberatif). Demokrasi model ini dalam praktiknya tidak semata-mata demokrasi untuk demokrasi, tetapi demokrasi yang didedikasikan untuk perbaikan kesejahteraan rakyat semesta. lnilah demokrasi dengan pengertiannya yang lebih substansial yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Berbeda dengan demokrasi Barat yang bertumpu pada prinsip supremasi individualisme setiap warga negaranya, demokrasi Indonesia mengakar pada prinsip-prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Maka demokrasi yang bersendi pada liberalisme yang individualistis tidak sesuai dengan demokrasi yang selayaknya diterapkan di Indonesia yang memiliki karakter kolektivitas. Demokrasi di Indonesia tidak semata-mata untuk membela dan mengakomodasi hak pribadi, tetapi juga harus mengakomodasi kepentingan bersama. Bersandar pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, demokrasi yang diterapkan di Indonesia hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
1. Segala keputusan demokratis tidak dibenarkan mengarah pada timbulnya perpecahan bangsa.
2. Dalam mengambil keputusan hendaknya selalu berpegang pada adagium bahwa kepentingan negara-bangsa ditempatkan di atas kepentingan pribadi dan golongan.
3. Hak-hak pribadi tetap dihormati, tetapi selalu ditempatkan dalam kerangka terwujudnya keselarasan hid up serta kelestarian ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
4. Keputusan demokratis bukan semata-mata mengakomodasi aspirasi dan keinginan rakyat atau warga negara tetapi harus mengarah pada terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Praktik demokrasi yang diselenggarakan di negara lain dapat diterapkan di Indonesia dengan tetap berpegang pada ketentuan di atas. Pengambilan keputusan dengan cara voting dibenarkan sejauh musyawarah untuk mencapai mufakat tidak dapat mencapai hasil.
6. Kelompok minoritas dilindungi dan mendapat perlakuan yang adil. Demokrasi yang diterapkan di Indonesia tidak sematamata mengacu pada proses, tetapi harus bermuara kepada tujuan yang telah menjadi kesepakatan bangsa.
SILA KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
Inti sila kelima adalah “keadilan” yang mengandung makna sifat-sifat dan keadaan Negara Indonesia harus sesuai dengan hakikat adil, yaitu pemenuhan hak dan wajib pada kodrat manusia hakikat keadilan ini berkaitan dengan hidup manusia, yaitu hubungan keadilan antara manusia satu dengan lainnya, dalam hubungan hidup manusia dengan tuhannya, dan dalam hubungan hidup manusia dengan dirinya sendiri (Notonagoro). Keadilan ini sesuai dengan makna yang terkandung dalam pengertian sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Selanjutnya hakikat adil sebagaimana yang terkandung dalam sila kedua ini terjelma dalam sila kelima, yaitu memberikan kepada siapa pun juga apa yang telah menjadi haknya oleh karena itu inti sila keadilan sosial adalah memenuhi hakikat adil.Realisasi keadilan dalam praktik kenegaraan secara konkret keadilan sosial ini mengandung cita-cita kefilsafatan yang bersumber pada sifat kodrat manusia yang monodualis, yaitu sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Hal ini menyangkut realisasi keadilan dalam kaitannya dengan Negara Indonesia sendiri (dalam lingkup nasional) maupun dalam hubungan Negara Indonesia dengan negara lain (lingkup internasional) dalam lingkup nasional realisasi keadilan diwujudkan dalam tiga segi (keadilan segitiga), yaitu:
1. Keadilan distributif, yaitu hubungan keadilan antara negara dengan warganya. Negara wajib memenuhi keadilan terhadap warganya, yaitu wajib membagi-bagikan terhadap warganya apa yang telah menjadi haknya.
2. Keadilan bertaat (legal), yaitu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara. Jadi dalam pengertian keadilan legal ini negaralah yang wajib memenuhi keadilan terhadap negaranya.
3. Keadilan kumulatif, yaitu keadilan antara warga negara yang satu dengan yang lainnya, atau dengan perkataan lain hubungan keadilan antara warga negara. Selain itu secara kejiwaan cita-cita keadilan tersebut juga meliputi seluruh unsur manusia yang juga bersifat monopluralis, yakni sudah menjadi sifat bawaan rnanusia yang selalu ingin memenuhi kepentingan hidupnya baik yang bersifat materiel maupun kejiwaan, baik dari dirinya sendiri-sendiri maupun dari orang lain. Semua itu terjadi dalam realisasi hubungan kemanusiaan, yaitu hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lainnya dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Hal ini bukan hanya sekedar lima sila, ini adalah sebuah ilmu pengetahuan, nilai dan implementasi dari tingkah dan laku warga negara Indonesia.
Dalam Pancasila, manusia Indonesia adalah manusia yang monopluralis, menurut Notonagoro manusia monopluralis diartikan sebagai makhluk yang memiliki tiga hakikat kodrat, yakni:
a. Sifat kodrat, yaitu manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial;
b. Susunan kodrat, yaitu manusia sebagai makhluk yang tersusun dari dua unsur, yaitu raga dan jiwa;
c. Kedudukan kodrat, yaitu manusia sebagai makhluk yang berdiri sendiri dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Dari ketiga hakikat kodrat tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia Indonesia ialah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari makhluk lainnya dan diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa seperti pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
AKTUALISASI PANCASILA
Aktualisasi Pancasila dapat diklasifikasikan dalam dua jalur utama, yaitu aktualisasi objektif dan subjektif, yang keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktualisasi objektif adalah aktualisasi dalam bentuk realisasi nilai-nilai Pancasila pada setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dan semua bidang kenegaraan dan terutama realisasinya dalam bentuk peraturan perundang-undangan Negara Indonesia. Aktualisasi subjektif, artinya pelaksanaan dalam pribadi setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Menurut Notonagoro aktualisasi Pancasila secara subjektif ini memegang peranan sangat penting, karena sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan Pancasila.Aktualisasi subjektif ini menurut Notonagoro dibentuk secara berangsur-angsur melalui proses pendidikan, baik pendidikan formal, non-formal, maupun informal di lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil yang akan diperoleh berupa pengetahuan, kesadaran, ketaatan, kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak dan hati nurani yang dijiwai oleh Pancasila. Namun demikian, sebaik apa pun produk perundang-undangan, jika tidak dilaksanakan oleh para penyelenggara negara maka tidak akan ada artinya, sebaliknya sebaik apa pun, banyak produk perundang-undangan yang terkesan tumpang tindih sehingga hanya mampu menghasilkan produk perundang-undangan namun lalai dalam realisasi dan controing-nya. Indonesia merupakan negara yang menurut hemat kami memiliki produk hukum atau aturan yang sudah mem-backup secara menyeluruh kebutuhan masyarakatnya, akan tetapi yang menjadi rancu adalah sering ditemukan aparaturyang lalai, bahkan menyimpang dari aturan yang ada tersebut.
Sikap mental penyelenggara negara namun tidak didukung oleh sistem dan struktur yang kondusif maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Dengan kata lain, aktualisasi Pancasila secara objektif sebagai dasar negara membawa implikasi wajib hukum, artinya ketidaktaatan pada Pancasila dalam artian ini dapat dikenai sanksi yang tegas secara hukum, sedangkan aktualisasi Pancasila secara subjektif membawa implikasi wajib moral. Artinya sanksi yang muncul lebih sebagai sanksi dari hati nurani atau masyarakat” terhadap si pelanggarnya. Dengan demikian buku ini diharapkan dapat membantu sebagai referensi memahami ideology Pancasila. Akhir kata, buku ini disajikan dengan ringkas dan sederhana, dengan harapan dampak nyata menambah pengetahuan dan wawasan pembaca. Pada bagian akhir, buku ini dilengkapi lampiran Undang-Undang Dasar 1945 hasil amendemen I – IV dan indeks untuk memudahkan pembaca mencari kata/lema penting.