Jumat, Februari 21, 2025
- Advertisement -spot_img
BerandaBeritaAdakan Rekonsiliasi, Agar Pesta Tidak Jadi Prahara

Adakan Rekonsiliasi, Agar Pesta Tidak Jadi Prahara

spot_img

Oleh : Nikson Silalahi, ST., M.IKom (Pengamat Sosial Politik)

OPINI, Jakarta. Pepatah lama menyatakan ‘honesty is the best policy’; kejujuran adalah kebijaksanaan terbaik. Negeri ini tidak lah pernah kurang akan orang-orang pintar, yang ada adalah kekurangan orang-orang jujur. Oleh berbagai kepentingan pribadi atau kelompok, semakin banyak orang tidak jujur. Perilaku seperti ini akan menjadi noda bangsa; membebani masa depan bangsa dan pada tahapan tertentu akan melahirkan ketidakdamaian, ketidaknyamanan.

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 sejatinya kita harapkan menjadi pesta demokrasi yang menggembirakan, yang memberikan harapan baru dalam kehidupan berbangsa ke depan dalam suatu pengharapan besar; negara yang lebih adil dan lebih makmur. Momen menuju Pilpres 2019 sesungguhnya memberikan gambaran yang jelas betapa kedua kubu pendukung paslon Capres/Cawapres sangat terbelah.

Hal ini tentu tidak terpisahkan dari kompetisi Pilpres 2014 yang masih segar diingatan. Ini adalah realita yang terjadi di bangsa ini, itu sebabnya kita berharap pelaksanaan Pilpres 2019 yang profesional, jujur dan adil harus tercapai; hanya itulah cara satu-satunya merekatkan kembali kedua kubu yang terpecah.

Persaudaraan bangsa kita sangat tinggi, menang atau kalah pada akhirnya akan diterima kedua kubu ketika kompetisi itu berjalan profesional, jujur, dan adil. Tapi bila sebaliknya, ini akan menjadi noda bangsa yang seperti api dalam sekam, pada suatu waktu akan meledak menjadi prahara yang mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kalau kita mencoba mundur ke belakang, pelaksanaan Pilpres 2019 dengan menggunakan ketetapan presidential threshold 20% dan acuan yang digunakan adalah hasil Pemilu 2014, sesungguhnya patut diduga menjadi salah satu pemicu keadaan.

Aturan ini sangat mendorong pengulangan kembali kompetisi 2 calon presiden di Pilpres 2014, yang berubah hanya pasangan wakilnya. Apakah ini tidak disadari para pemangku kepentingan di negeri ini atau justru memang bagian dari kesengajaan?

Tentu kita tidak lupa bahwa ada beberapa anak bangsa ini sudah mengajukan keberatan secara hukum, tetapi pada akhirnya ketetapan tetaplah ketetapan dengan presidential threshold 20% dan acuan yang digunakan adalah hasil Pemilu 2014.

Akibatnya, patut diduga pembelahan anak bangsa yang belum sembuh dari luka Pilpres 2014 semakin membesar di Pilpres 2019 sehingga dalam berbagai aspek apakah di dunia maya ataupun di dunia nyata acap kali terlihat perang terbuka yang bahkan melengserkan akal sehat, memupuskan kasih persaudaraan sesama anak bangsa; yang bersileweran justru perilaku merasa benar sendiri dengan paslon yang didukung dan kubu yang sama dukungan.

Kalau mau jujur, kita pantas prihatin dengan pelaksanaan Pilpres 2019 lalu yang patut diduga tidak mencerminkan aspek professional, jujur, dan adil. Data per 4 Mei 2019, sekitar 440 orang jumlah petugas KPPS yang meninggal, sejumlah 3.788 orang yang sakit. Sekian orang tidak bisa menjalankan hak pilihnya adalah bukti kurang profesional.

Laporan dari Direktorat Hukum dan Advokasi Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin menerima 14.843 laporan dugaan pelanggaran atau kecurangan yang menguntungkan paslon 02 ( https://nasional.kompas.com/read/2019/05/01/21010231/tkn-terima-14843-laporan-dugaan-kecurangan-yang-untungkan-kubu-prabowo) dan laporan dari Tim IT BPN Prabowo-Sandi, ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyatakan ditemukan sebanyak 73.715 kesalahan input data Situng sebesar 15,4 persen dari total 477.021 TPS (tempat pemungutan suara) yang telah diinput (https://suarapalu.com/masukkan-bukti-kecurangan-pemilu-ke-bawaslu-bpn-tagih-sayembara-rp100-miliar/), mau tidak mau mencerminkan bahwa pelaksanaan perhelatan Pilpres ini terindikasi tidak jujur dan tidak adil. Pun bisa diperdebatkan, masih banyak fenomena tidak jujur dan tidak adil yang dilaporkan oleh banyak orang di lalu lintas komunikasi via media sosial beberapa waktu belakangan ini.

Banyak orang dengan ringan menjawab kalau ada bukti kecurangan silahkan laporkan ke instansi berwenang.

Secara normatif ini tentu arahan yang benar, tapi dalam prakteknya sungguh banyak orang hari ini tidak percaya ke lembaga tempat dia harus mengadu karena kecenderungan banyak oknum dari lembaga-lembaga itu patut diduga partisan ke suatu paslon. Ini menjadi keresahan baru. Bukan rahasia lagi bahwa banyak orang hari-hari ini dalam posisi curiga atas pembelahan posisi sebagai pendukung dari dua kubu paslon yang berkompetisi.

Kecurangan-kecurangan sebelum hari H Pilpres, pada hari H dan pasca hari H sungguh banyak dilaporkan dalam lalu lintas komunikasi di media sosial. Pernyataan secara terbuka oleh BPN dan TKN di atas telah menjadikan ketidakpuasan penyelenggaraan Pilpres 2019 sebagai konsumsi publik. Hal ini memberi pesan yang jelas bahwa pelaksanaan Pilpres 2019 ini cukup serius bermasalah. Pilpres yang bermasalah tentu tidak lagi layak disebut pesta, karena pesta seharusnya memberikan kegembiraan baru, mendorong kesatuan baru.

Tapi pada kondisi hari ini, secara jujur yang terlihat bukan kesejukan yang menyatukan tapi sudah mengarah pada kegeraman yang mengarah pada pertikaian. Bukan pesta yang menyenangkan tapi petaka yang menyedihkan; ratusan keluarga kehilangan orang yang dikasihinya meninggal dalam menjalankan tugas sebagai petugas KPPS, dan ribuan orang lainnya pada saat ini dalam kondisi sakit.

Lalu, bagaimana menyikapi keadaan yang sudah kadung menyedihkan ini?

Menunggu ketetapan hasil Pemilu yang direncanakan pada 22 Mei nanti oleh KPU, saya berharap kedua paslon Capres/Cawapres, penanggungjawab jawab lembaga-lembaga penyelenggara pilpres, para tokoh bangsa; dengan kesadaran penuh harus memulai dari pengakuan bahwa Pilpres saat ini tidak berhasil menjalankan aspek profesional, jujur, dan adil.

Setelah ada pengakuan bersama itu, lalu ditindaklanjuti dengan rekonsiliasi untuk mencarikan solusi bersama; mentabulasi persoalan-persoalan yang terjadi semisal temuan meninggalnya ratusan petugas KPPS dan ribuan korban sakit, kasus-kasus yang diduga kecurangan;  termasuk bila disepakati bersama harus memulai dari awal penyelenggaraan kompetisi yang profesional, jujur, dan adil.

Ini tentu bukan hal yang mudah. Selain soal dana, waktu, juga dibutuhkan kebesaran jiwa untuk membiarkan kemungkinan kubunya kalah oleh karena penyelenggaraan yang tidak bisa lagi terintervensi kubu masing-masing.

Kenapa hal ini harus dilakukan? Karena hanya itu jalan agar bangsa ini tidak terpecah, karena hanya ini yang bisa membuat bangsa ini kembali bersatu. Apabila hal ini tidak dilakukan, saya kuatir justru setelah pengumuman KPU pada 22 Mei 2019 nanti akan terjadi gonjang-ganjing yang menimbulkan perpecahan yang lebih terbuka dan meluas.

Kita bersama tentu tidak menginginkan hal ini terjadi. Rekonsiliasi kedua kubu paslon dan para penyelenggara Pilpres sebelum 22 Mei adalah langkah yang tepat dan menghadirkan solusi yang menyejukkan.

Mudah-mudahan Tuhan membukakan hati para pemimpin kita itu agar lebih mengedepankan kejujuran dan kebijaksanaan yang mengutamakan kepentingan keutuhan, keamanan dan kenyamanan NKRI dibanding kepentingan pribadi atau kelompok.

Kebenaran meninggikan derajat bangsa tapi dosa adalah noda bangsa. Bangsa yang membawa noda dalam perjalanannya akan sulit untuk adil dan makmur, tapi bangsa yang meletakkan kebenaran pada setiap langkahnya akan mencapai keadilan dan kemakmuran. []

spot_img
POPULER
BACA JUGA
spot_img